Pertanyaan:
Assalamualaikum
Ustadz, orang tua kami sudah meninggal, dalam wasiat tersebut bapak saya meminta mensedekahkan rumahnya untuk rumah tahfidz. Namun kakak tertua saya tidak setuju karena ingin mendapatkan sebagiannya. Yang saya tanyakan apa sedekah warisan itu harus ada persetujuan ahli waris?
-Prasetyo
Jawab:
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Sayyidina Rasulillah, amma ba’du: Apakah sedekah warisan itu harus atas persetujuan ahli waris? Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan ini, harus dijelaskan dan ditegaskan terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan istilah sedekah warisan itu? Karena dalam hal ini terdapat dua kemungkinan makna dan maksudnya.
Pertama, dengan makna dan maksud bahwa, harta warisan tersebut disedekahkan atas inisiatif murni dari ahli waris. Dimana pada kondisi ini, karena harta warisan itu telah menjadi hak sah para pewarisnya, maka bila hendak disedekahkan, haruslah dengan persetujuan seluruh pewaris yang ada. Karena memang merekalah pemilik sah harta itu. Sehingga dengan demikian sedekah tersebutpun sebenarnya juga tak lain adalah sedekah mereka, bukan sedekah almarhum pemilik semula harta tersebut semasa hidupnya. Hanya saja, harta warisan itu, sebelum dibagi, masih merupakan harta milik bersama para ahli waris dengan bagian hak yang berbeda-beda satu sama lain, sesuai ketentuan fiqih waris dalam syareat Islam. Maka, sebelum dilakukan tindakan apapun terhadap suatu harta warisan, seperti untuk disedekahkan misalnya atau semacamnya, hal prioritas pertama yang harus dilakukan adalah membaginya diantara para ahli waris sesuai kaidah hukum waris. Dan hal itu agar bagian hak milik masing-masing darinya menjadi jelas. Begitu pula, agar siapapun diantara mereka, setelah itu, yang ingin mensedekahkan bagian haknya sendiri misalnya, maka iapun bebas dan leluasa untuk melakukannya, tanpa harus meminta ijin lagi kepada ahli waris lainnya. Bahkan seandainyapun para ahli waris semuanya telah sepakat untuk mensedekahkan seluruh harta warisan yang ada, atas nama almarhum/almarhumah misalnya, maka sebaiknya tetap dilakukan penghitungan dan pembagian terlebih dahulu. Dimana hikmah dan tujuannya adalah, agar jadi jelas bagi semuanya, kadar kontribusi masing-masing, sesuai hak warisnya, dalam sedekah kolektif dengan harta warisan tersebut.
Sedangkan makna dan maksud kedua dari istilah sedekah warisan adalah bahwa, langkah untuk mensedekahkan suatu harta warisan itu atas permintaan atau pesan dari almarhum/almarhumah sebelum meninggal. Dan rupanya makna atau maksud kedua inilah yang sesuai dengan inti pertanyaan diatas. Nah kalau untuk makna dan maksud ini, yang harus dipahami dan diketahui adalah bahwa, permintaan atau pesan almarhum seperti itu, di dalam syareat dan fiqih Islam disebut wasiat. Sedangkan wasiat yang baik, seperti sedekah, infak, wakaf dan sejenisnya, di dalam syareat Islam berhukum wajib untuk ditunaikan dan dilaksanakan oleh ahli waris. Sehingga sikap penolakan atau ketidak setujuan terhadap pelaksanaan wasiat dari sebagian ahli waris, adalah sebuah tindakan melanggar syareat yang tidak dibenarkan dan merupakan dosa besar. Bahkan pelaksanaannya, seperti juga pembayaran hutang almarhum/almarhumah jika ada, wajib didahulukan sebelum pembagian harta waris itu sendiri, sebagaimana yang telah Allah firmankan dan tegaskan di dalam QS. An-Nisaa’ ayat 12. Jadi jika memang benar bahwa, diantara permintaan, pesan dan wasiat almarhum Bapak adalah mensedekahkan rumah yang ditinggalkannya untuk rumah tahfidz, maka hal itu wajib ditunaikan, dan tidak dibenarkan bagi sang kakak tertua atau siapapun lainnya untuk menolak atau tidak menyetujuinya.
Namun masih ada yang perlu kami jelaskan dan tegaskan disini bahwa, kadar maksimal harta peninggalan yang boleh diwasiatkan adalah sepertiganya, tidak boleh lebih. Dan ini sudah merupakan ijmak serta kesepakatan para ulama semuanya. Dimana dasarnya antara lain adalah hadits Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu bahwa, saat sakit dan dijenguk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, serta hendak berwasiat, beliau bertanya kepada Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Bagaimana jika aku mensedekahkan seluruh hartaku? Di dalam riwayat lain: dua pertiga hartaku? Rasulullah menjawab: Jangan! Beliau (sahabat Sa’ad) masih bertanya: Bagaimana jika separohnya? Nabi masih menjawab: Jangan. Lalu beliau bertanya lagi: bagaimana jika sepertiganya? Dan disini baru Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Ya boleh kalau hanya sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Karena bila kamu meninggalkan para pewarismu dalam keadaan berkecukupan, maka itu akan lebih baik daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam kondisi fakir, seraya meminta-minta kepada orang lain! (HR. Muttafaq ‘alaih). Nah berdasarkan hadits dan ijmak ulama diatas itu, perlu dilihat apakah rumah peninggalan yang diwasiatkan oleh orang tua tersebut itu hanya sebagian saja dari harta warisan beliau, ataukah itu justru merupakan seluruh harta pusaka yang ada? Jika rumah tersebut misalnya hanya sepertiga atau bahkan kurang dari sepertiga harta warisan, maka berarti wasiat mensedekahkan rumah tersebut untuk rumah tahfidz wajib dilaksanakan secara penuh, tanpa boleh ada siapapun yang menolaknya! Adapun bila ternyata rumah tersebut justru seluruh harta warisan peninggalan almarhum Bapak, maka yang boleh dilaksanakan sebagai wasiat hanyalah maksimal sepertiganya saja, tidak boleh lebih apalagi semuanya. Sedangkan dua pertiganya yang lain harus tetap dibagi-bagi sebagai warisan diantara para ahli waris berdasarkan ketentuan syareat Islam yang telah baku.
Demikian jawaban yang bisa kami berikan. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahul Muwaffiq ila aqwamith thariq, wa Huwal Hadi ila sawa-issabil.