Pertanyaan:
Assalamu\’alaikum
Ustadz,saya masih bingung dengan penerapan sholat safar.
- Apa beda sholat jama’ dan sholat jama’ qashar?
- Jika saya melakukan perjalanan dari Bandung ke Surabaya berangkat Sabtu jam 18.40 nyampai di Surabaya Minggu jam 08.00 pagi. Bagaimana cara saya sholat?
- Bolehkah saya menjama’ sholat ketika di dalam kota tempat saya mukim krn suatu hal yg mendesak? Berapa rokaat yg harus saya kerjakan kalau saya jama’ maghrib dan isya’ bukan di perjalanan?
Terimakasih.Wassalamu\’alaikum
– Wijiastuti
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas:
1- Istilah jama’ dalam hal shalat berarti menggabungkan penunaian dua shalat fardhu yang berurutan waktu di waktu salah satunya. Jika dilaksanakan di waktu shalat yang pertama, maka disebut jama’ taqdim (jama’ mendahulukan), seperti misalnya jama’ antara shalat dzuhur dan shalat ashar yang dilakukan di waktu dzuhur. Sedangkan jika ditunaikan di waktu shalat yang kedua atau terakhir, maka disebut jama’ ta’khir (jama’ mengakhirkan), seperti jama’ antara shalat maghrib dan shalat ‘isya’ yang dilakukan di waktu ‘isya’. Dan jama’ shalat hanya berlaku antara shalat dzuhur dan shalat ashar, atau antara shalat maghrib dan shalat ‘isya’. Sehingga tidak boleh ada jama’ misalnya antara shalat ‘ashar dan shalat maghrib, atau antara shalat ‘isya’ dan shalat shubuh, atau antara shalat shubuh dan shalat dzuhur. Adapun istilah qashar berarti meringkas atau memendekkan pelaksanaan shalat-shalat fardhu yang semula berjumlah empat rakaat, seperti shalat dzuhur, ‘ashar dan ‘isya’, menjadi dua rakaat saja. Jama’ dan qashar adalah merupakan dua bentuk rukhshah (keringanan) di dalam pelaksanaan shalat fardhu, karena adanya faktor ‘udzur (alasan syar’i) tertentu. Dimana di dalam pelaksanaannya, terkadang digabung antara keduanya sehingga disebut jama’ qashar, terkadang dilakukan qashar saja tanpa jama’, atau jama’ saja tanpa qashar. Untuk contoh praktek jama’ yang digabung dengan qashar sekaligus seperti shalat fardhu bagi seorang musafir, shalat jama’ qashar antara dzhrur dan ‘ashar di ‘Arofah (jama’ taqdim), dan jama’ antara maghrib dan ‘isya’ di Muzdalifah (jama’ ta’khir) bagi jama’ah haji. Dan contoh untuk praktek qashar tanpa jama’ adalah pelaksanaan shalat lima waktu mulai shalat dzuhur pada hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) sampai shalat shubuh hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) di Mina bagi jamaah haji. Adapun contoh untuk praktek jama’ tanpa qashar, adalah shalat fardhu dalam kondisi hujan, sakit, kebutuhan yang sangat mendesak, dan semacamnya dimana dalam kondisi-kondisi seperti itu, meski tidak sedang bepergian, dibolehkan bagi seseorang – menurut madzhab sebagian ulama – untuk melakukan jama’ saja tanpa qashar.
2- Jika sebelum berangkat itu waktu shalat maghrib sudah masuk, maka Anda bisa melakukan shalat maghrib saja sebelum berangkat, atau bisa juga – menurut sebagian pendapat – Anda menggabungkannya (menjama’nya) sekaligus dengan shalat ‘isya’ tanpa qashar, jika Anda bertempat tinggal di Bandung. Tapi jika tidak, maka Anda boleh melakukan jama’ dan qashar antara maghrib dan ‘isya tersebut di Bandung sebelum berangkat, karena keberadaan Anda di Bandung sendiri dengan demikian adalah sebagai musafir. Adapun jika Anda berangkat sebelum maghrib, maka shalat maghrib dan ‘isya’ harus Anda lakukan di perjalanan secara jama’ dan qashar, baik taqdim maupun ta’khir.Begitu pula shalat shubuh, harus Anda tunaikan di perjalanan tepat pada waktunya.Dan Anda tidak boleh menunda atau mengakhirkan pelaksanaan shalat shubuh atau apalagi ketiga shalat tersebut semuanya (maghrib, ‘isya dan shubuh) setelah sampai di Surabaya, karena berarti waktu masing-masingnya sudah lewat. Sebab Allah telah menetapkan batas waktu tertentu untuk setiap shalat yang wajib ditunaikan tepat pada waktu itu, tidak boleh didahulukan sebelum waktunya atau ditunda sesudahnya atau sampai lewat waktunya, kecuali karena faktor jama’ saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya shalat itu bagi orang-orang beriman merupakan satu ketetapan atau kewajiban yang telah ditentukan waktunya” (QS. An-Nisaa’ 4: 103). Bahkan di dalam suasana perang sekalipun, setiap shalat fardhu tetap wajib dilaksanakan tepat pada waktunya. Dan oleh karenanya dijelaskan cara-cara khusus dalam pelaksanaan shalat di medan perang, yang dikenal dengan shalat khauf (lihat QS. An-Nisaa’ 4: 102).
3- Iya, menurut pendapat sebagian ulama, diperbolehkan bagi orang yang muqim (tinggal di dalam kota, dan tidak sedang bepergian) untuk melakukan jama’ (tanpa qashar) karena ‘udzur-‘udzur (alasan-alasan) tertentu, seperti hujan, sakit, kebutuhan yang mendesak dan semacamnya. Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan jama’ antara shalat maghrib dan shalat ‘isya pada suatu malam yang sedang hujan. Dan Imam An-Nawawi berkata: “Sejumlah imam berpendapat dibolehkannya menjama’ shalat di dalam kota karena adanya faktor kebutuhan, bagi orang yang tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan rutin”. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Madzhab yang paling longgar dan toleran dalam hal jama’ adalah madzhab (Imam) Ahmad (bin Hambal), dimana beliau membolehkan jama’ jika ada kesibukan (mendesak)” (lihat Fiqhus Sunnah I/209). Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat jama’ antara dzuhur dan ‘ashar, serta antara maghrib dan ‘isya di dalam kota Madinah, bukan karena adanya faktor ketakutan (perang) dan juga bukan karena hujan. Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas: Apa tujuan beliau melakukan itu? Ibnu ‘Abbas menjawab: Beliau bertujuan atau berkeinginan agar tidak menyulitkan ummatnya. (HR. Muslim). Dan Ibnu ‘Abbas juga meriwayatkan bahwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di Madinah tujuh rakaat (jama’ antara maghrib 3 rakaat dan ‘isya 4 rakaat) dan delapan rakaat (jama’ antara dzuhur 4 rakaat dan ‘ashar 4 rakaat). (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Demikian jawaban kami, semoga bisa dipahami dan bermanfaat.
Wal-Lahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq wal-Haadii ilaa sawaa-issabiil.