Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb.
maaf kalau pertanyaan saya agak aneh, saya ingin bertanya tentang hajar aswad,
sampai saat ini saya belum menemukan jawaban yang memuaskan saya.
1. sebenarnya bagaimana sejarah hajar aswad?
2. mengapa berhaji orang berusaha menciumnya?
3. apakah dengan mencium hajar aswad tidak berarti pemujaan terhadap berhala?
Terima kasih
Wassalamu\’alaikum Wr. Wb.
– dewi
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Anda di atas:
- Berbicara tentang sejarah Al-Hajar Al-Aswab adalah berbicara tentang Ka’bah dan Al-Masjid Al-Haram. Karena ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan Ka’bah di Al-Masjid Al-Haram. Dan jika ingin pemaparanan sejarahnya secara lengkap tentu akan sangat panjang sekali. Dan rasanya bukan di sini tempatnya. Maka silakan Anda baca buku-buku yang membahas tentang tema dan topik itu secara khusus dan luas. Yang jelas Al-Hajar Al-Aswad (artinya: batu hitam) adalah satu-satunya potongan batu yang tersisa dari batu-batu bangunan Ka’bah peninggalan pembangunan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dahulu (lihat: Fiqhus Sunnah, oleh Asy-Syaikh Sayyid Sabiq, jilid I/hal.410).
Sedangkan Ka’bah yang juga disebut Baitullah (Rumah Allah), dan yang merupakan rumah Allah (bangunan tempat ibadah kepada Allah) yang pertama kali dibangun di muka bumi (lihat QS. Ali ‘Imraan [3]: 96), disebutkan mengalami lima kali proses pembangunan. Pertama, disebutkan bahwa, Ka’bah dibangun pertama kali oleh Malaikat, atau Nabi Adam ‘alaihissalam, atau salah seorang putera Nabi Adam ‘alaihissalam; Kedua, Ka’bah dibangun untuk kali kedua oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dibantu oleh putera beliau Nabi Ismail ‘alaihissalam (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 127); Ketiga, Ka’bah dibangun kembali oleh kaum Quraisy pada masa jahiliyah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut terlibat dalam peletakan Al-Hajar Al-Aswad; Keempat, Ka’bah dibangun untuk yang keempat kalinya oleh Khalifah Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, setelah terbakar; Kelima, Ka’bah dibangun ulang lagi oleh Al-Hajjaj bin Yusuf gubernur Iraq pada masanya. Dan hasil pembangunan terakhir itulah yang tetap ada dan terjaga sampai sekarang.(lihat: Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid III/hal. 2381).
Adapun keberadaan Al-Hajar Al-Aswad dalam posisinya di Ka’bah sebagaimana yang kita tahu sampai saat ini, dan penghormatan serta pemuliaan terhadapnya, sudah merupakan warisan turun temurun sejak dahulu kala, jauh sebelum Islam datang, sebagai bagian dari penghormatan dan pemuliaan terhadap Baitullah Ka’bah itu sendiri. Dan itu tetap berlanjut, dijaga, dipertahankan dan dibenarkan sampai setelah Islam datang. Tentu saja penghormatan dan pemuliaan yang dimaksudkan tidak disertai dengan sikap pengeramatan, atau pengkultusan atau apalagi sampai pemujaan!
- Karena menciumnya merupakan salah satu amalan (hukumnya sunnah) di antara amalan-amalan haji atau umrah ketika seorang jamaah melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Ini adalah masalah ibadah ritual yang tidak bisa didekati dengan pendekatan logika. Maka pertanyaan seperti itu, adalah sama seperti pertanyaan-pertanyaan serupa tentang seluruh praktik ibadah ritual di dalam Islam. Dan jawabannyapun sama.
Seperti misalnya, mengapa berhaji harus ke Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah? Mengapa harus thawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran? Mengapa harus sa’i dengan berjalan plus berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali pula antara bukit Shafa dan Marwa? Mengapa jama’ah haji harus ke Mina pada hari Tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah, berwuquf di Arafah pada tanggal 9-nya, bermabit (menginap) di Muzdalifah, melontar jumrah, dan seterusnya. Seperti juga misalnya tentang shalat, mengapa harus lima waktu? Dan mengapa misalnya shalat dzuhur dan ashar yang waktunya umumnya seseorang dalam keadaan capek dan lelah bekerja, harus dilakukan masing-masing empat rakaat, sementara shalat shubuh yang dilakukan pada pagi hari dimana seseorang berada dalam kondisi paling fit dan fresh, setelah tidur malam dan istirahat total, kok justeru hanya dua rakaat saja? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Nah, jawaban atas semua pertanyaan itu hanya satu dan sama saja, yaitu: Begitulah memang ketentuan dan tuntunan dari sononya ? Begitulah Allah Ta’ala menetapkan dan memerintahkan. Dan begitulan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggariskan dan mencontohkan. Dan sebagai ummat Islam kita wajib sami’naa wa atha’naa (lihat QS. An-Nuur [24]: 51) sebagai bukti keimanan, keshalehan dan penghambaan kita kepada Allah, serta sebagai wujud ittiba’ (kepatuhan mengikuti) kita pada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Tentu sama sekali tidak! Disamping karena memang ciuman tidak dikenal selama ini sebagai salah bentuk praktik ritual pemujaan terhadap berhala, landasan dan motivasi seorang jamaah haji atau umrah mencium Al-Hajar Al-Aswad, sama sekali bukan karena adanya sikap pengeramatan, pengkultusan atau apalagi sampai pemujaan terhadap Batu Hitam itu. Tapi landasan dan motivasinya adalah seperti yang dipraktekkan dan diungkapkan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, dimana beliau mendatangi Al-Hajar Al-Aswad dan menciumnya, lalu berkata: Sungguh aku tahu bahwa, engkau hanyalah sebuah batu, yang tidak bisa memberikan manfaat ataupun madharat. Dan kalau saja bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, niscaya akupun tidak akan mencimmu” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain). Jadi landasan dan motivasi yang benar, adalah murni karena ittiba’ Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), sesuai perintah Allah Ta’ala (lihat QS. Ali ‘Imraan [3]: 31; QS. Al-Ahzaab [33]: 21; Dan lain-lain).
Wal-Lahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.