Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Ustadz saya mau menanyakan mengenai hutang puasa untuk istri saya…. begini ceritanya, istri saya tidak puasa selama 1 bulan karena sedang hamil…. lalu setelah Ramadhan habis dia tidak sempet bayar hutang karena masih hamil dan th depannya, bulan Ramadhan datang lagi… dan istri saya juga tidak bisa menjalankan puasa karena harus menyusui anaknya.
Pertanyaan saya, apa yang seharusnya dilakukan istri untuk membayar semua hutang tsb? Bagaimana Caranya kalau harus bayar fidyah, berapa dan bagaimana cara menghitungnya? Apakah kalau sudah bayar fidyah istri saya tidak perlu puasa untuk bayar hutang tersebut?
Kami mohon jawabannya, terima kasih.
Wassalamu’alaikum.
– Gufron
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Seorang ibu yang sedang hamil, begitu pula yang sedang menyusui, termasuk yang mendapatkan rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk tidak berpuasa. Ini disepakati oleh para ulama berbagai madzhab. Namun kemudian terjadi khilaf (perselisihan) di antara mereka tentang bentuk pengganti yang harus dilakukan oleh si ibu itu.
Jumhur ulama madzhab, seperti madzhab hanafi, syafi’i dan hambali misalnya, berpendapat bahwa, penggantinya adalah berupa qadha’. Yakni bahwa, sang ibu tersebut tetap wajib meng-qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan itu, dengan berpuasa sejumlah hari ia tidak berpuasa itu, di bulan lain, setelah ia merasa mampu. Berarti qadha’ baginya, menurut madzhab-madzhab itu, adalah sebuah kemutlakan dan keniscayaan. Bahkan pada kondisi dimana jika yang dikhawatirkan adalah janin atau bayinya, maka menurut madzhab syafi’i dan hambali, ia (si ibu hamil/menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan) justru wajib mengganti secara dobel, yakni dengan meng-qadha’ puasa dan membayar fidyah sekaligus.
Dengan adanya pendapat jumhur ulama madzhab-madzhab tersebut, maka pengganti qadha’ puasa tetap lebih diutamakan selama sang ibu memiliki kemampuan dan tidak merasa lebih keberatan. Adapun bagi yang merasa qadha’ lebih memberatkan baginya (padahal ia boleh tidak puasa saat Ramadhan itu dengan tujuan meringankan, sehingga disebut rukhshah/keringanan), maka ia berhak mengambil alternatif pengganti kedua, yaitu dengan membayar fidyah saja, tanpa qadha’. Sehingga jika telah membayar fidyah, maka itu sudah dinilai cukup sebagai pengganti hutang puasa, dan tidak harus membayar hutang puasa lagi, karena telah terbayar melalui fidyah tersebut.
Dan alternatif pengganti fidyah saja (tanpa qadha’) adalah madzhab yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum dalam riwayat-riwayat Imam Malik, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni, dan Al-Bazzar dengan sanad-sanad yang shahih (lihat Fiqhus Sunnah I/310).
Sedangkan bentuk dan ukuran fidyah, adalah dengan memberi makan minimal sekali kepada seorang fakir miskin sebagai pengganti satu hari yang ditinggalkan. Karena firman Allah (di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184) memang hanya menyebutkan kata-kata umum: “fidyatun tha’aamu miskiin” (satu fidyah/pembayaran atau penebusan sebagai pengganti, dengan cara memberi makan kepada seorang fakir miskin). Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak diriwayatkan menetapkan batasan atau ukuran tertentu untuk fidyah tersebut, sehingga memberi makan sekali saja itu juga sudah masuk dalam cakupan makna “tha’aamu miskiin” yang ada di dalam ayat, meskipun itu adalah kadar minimalnya. Sehingga akan lebih afdhal dan lebih diutamakan, jika dilebihkan misalnya menjadi dua kali atau tiga kali makan sehari, selama itu tidak memberatkan si ibu pembayar fidyah.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah tidak mampu berpuasa sebulan penuh selama Ramadhan, maka beliaupun membuat bubur satu mangkuk besar, dan mengundang 30 orang fakir miskin, hingga membuat mereka semua kenyang” (HR. Ad-Daraquthni dengan sanad yang shahih).
Sementara itu jika dibayar dengan bahan makan mentah, misalnya beras, maka kadar minimal yang ada dalam beberapa riwayat sahabat radhiyallahu ‘anhum, adalah satu mudd (- + 7 ons), dari jenis beras kualitas sedang yang umum digunakan, atau sesuai dengan yang biasa dikonsumsi oleh pembayar fidyah. Itu adalah kadar minimal, jadi tentu juga lebih afdhal dan lebih diutamakan jika dilebihkan misalnya menjadi 1 kg. atau lebih, atau dipilihkan kualitas yang lebih baik, sesuai tingkat kemampuan yang bersangkutan.
Lalu jika ingin diuangkan, yakni dibayar dalam bentuk uang tunai, boleh meskipun kurang afdhal, dan kadarnya ditetapkan sesuai harga makanan atau atau bahan makan (beras) dengan standar yang telah disebutkan diatas.
Adapun tentang cara dan sistem pembayarannya, maka juga tidak ada ketentuan yang mengikat. Sehingga bisa dibayar sekaligus untuk sejumlah hari atau untuk sebulan penuh, seperti yang dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat diatas. Atau bisa juga dibayar setiap hari bertepatan pada hari yang ditinggalkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana boleh pula dibayar diluar bulan Ramadhan dengan cara-cara tertentu, yang inti dan sasarannya adalah memberi makan atau bahan makan kepada fakir miskin. Namun kaidahnya adalah, selama pembayaran bisa dilakukan lebih cepat dan lebih awal, maka itu yang lebih baik dan lebih utama dilakukan, agar lebih cepat terlepas dari tanggungan.
Sedangkan tentang cara penyalurannya, maka sifatnya juga longgar, yang penting tepat sasaran. Yakni boleh disalurkan sendiri kepada fakir miskin yang dikenal atau diketahui, atau boleh juga melalui lembaga dana yang amanah dan profesional.
Demikian jawaban yang bisa kami berikan, semoga dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a’lam, wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.