Tidak Memaafkan, Apakah Dosa?

Pertanyaan:

Ass.Wr.Wb.

Saya janda punya anak 1 umur 5 th. Saat saya masih bersama suami, suami sering kali menjual barang2 milik saya sampai menggadaikan mobil saya (tanpa ijin saya) sehingga saya harus menebusnya puluhan juta. Dan itu terjadi berkali2. Akibat kelakuannya tsb, sampai sekarang saya harus membayar hutang dengan bunga sangat besar. Sampai mobil saya jualpun, hutang saya belum habis. Sehingga saya merasa bahwa kerja saya sia2 karena hanya untuk membayar hutang saja. Karena tidak punya mobil maka jika saya bekerja, saya harus numpang sana-sini. Sebenarnya malu saya lakukan ini.

Sejak menikah (selama 6 th) suami tidak pernah memberi nafkah lahir. Karena saya merasa sakit hati sekali (sebelum nikah saya hidup kecukupan, setelah nikah sampai cerai hidup jadi sulit) saya tidak bisa memaafkan kelakuan suami kecuali dia bisa mengembalikan semua harta saya yang dia pakai.

Pak Ustadz, mohon penjelasan :

  • Apakah yang saya lakukan ini berdosa ?
  • Bagaimana hukumnya bila saya tidak bisa memaafkan kelakuan mantan suami ?

Terima kasih.

Wassalam Wr Wb

Best regards,
– Nila

Jawab:

Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:

Kami sangat memahami dan memaklumi kondisi yang Anda alami dan sikap yang Anda ambil. Dan kami kira siapapun orang yang normal pasti akan marah terhadap prilaku orang seperti mantan suami Anda itu dan karenanya tidak mudah untuk memaafkannya. Itu adalah sikap wajar dan normal yang ditolerir dan dibenarkan di dalam hukum agama Islam. Namun yang harus diingat dan dicatat adalah, jangan sampai rasa benci, marah dan sikap tidak memaafkan itu sampai berlebihan, sehingga misalnya sampai mengakibatkan timbulnya kemadharatan atau kenegatifan tertentu, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Karena ada orang misalnya, yang memendam rasa marah, benci dan dendam terhadap orang yang pernah mendzaliminya, sampai ia sakit karenanya, baik fisik maupun psikis. Atau karena dendam dan amarahnya itu, sehingga yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan yang madharat, atau maksiat, atau jahat, atau lainnya yang merugikan diri sendiri atau diri orang lain.

Adapun tentang masalah maaf, maka baik meminta maaf atas kesalahan maupun memberi maaf kepada orang yang bersalah, kedua-duanya merupakan sifat dan sikap terpuji yang sangat dianjurkan dan diperintahkan di dalam ajaran Islam. Meminta maaf atas kesalahan adalah salah satu syarat dan bukti tobat yang wajib dilakukan oleh orang yang bersalah dan berdosa. Sedangkan memberi maaf disebutkan Allah sebagai salah satu sifat orang-orang muttaqin yang dijanjikan memperoleh Surga yang luasnya seluas langit dan bumi (lihat QS. Ali ‘Imraan 3/133-134).

Dari sisi hukumnya, memberikan maaf itu ada yang wajib dan ada yang tidak wajib tapi merupakan kemuliaan akhlak. Yang wajib hukumnya adalah seperti misalnya memberi maaf atau memaafkan orang bersalah yang telah benar-benar bertobat dengan memenuhi syarat-syaratnya (antara lain misalnya dengan telah mengembalikan hak-hak yang pernah dirampasnya) serta telah melakukan permohonan maaf secara sungguh-sungguh dan tulus. Untuk orang seperti ini kita wajib memberikan maaf dan memaafkan. Dan jika tidak, maka kitalah yang berdosa, sementara dia insyaa-allah telah terlepas dari tanggungan.

Adapun jika orang yang bersalah terhadap kita itu tidak bertobat, atau tidak meminta maaf, atau tidak mengembalikan hak-hak kita yang telah dirampasnya sebagai bukti tobat dan permohonan maafnya, maka kita tidak wajib memaafkannya. Sehingga jika kita memilih untuk tetap tidak memaafkan, maka sikap dan tindakan demikian bisa diterima dan ditolerir serta tidak disalahkan. Dan karenanya, kitapun tidak berdosa. Meskipun andai kita bisa dan mau memilih sikap yang lain, yakni sikap memaafkan, maka tentu saja itu lebih baik, lebih terpuji dan lebih mulia, serta berpahala besar.

Jadi dengan demikian, andai Anda tetap memilih sikap tidak memaafkan mantan suami atas prilakunya dulu yang merampas hak-hak Anda dan merugikan Anda, selama dia tidak/belum mengembalikan apa yang pernah dirampasnya dari Anda, maka sikap dan tindakan Anda tersebut bisa dimaklumi dan dibenarkan, yang berarti juga tidak berdosa.

Namun yang perlu kami ingatkan adalah, Anda harus senantiasa memperhatikan dan memantau kondisi Anda, agar janganlah sampai sikap Anda itu menimbulkan akibat buruk atau dampak negatif  tertentu terhadap diri Anda sendiri misalnya. Misalnya saja gara-gara memendam kebencian dan kemarahan yang berlarut-larut terhadap mantan suami, akibatnya Anda jadi terjangkiti penyakit trauma, atau menjadi pendendam, atau timbulnya dampak-dampak buruk lainnya. Maka jangan lupa untuk mengimbangi dengan sifat sabar, tawakkal dan keyakinan akan adanya hikmah-hikmah Allah yang sangat besar di balik setiap taqdir dan ujian yang diberikan oleh-Nya kepada kita. Jagalah, kuatkanlah dan tingkatkanlah terus rasa dan sikap husnudzdzan (baik sangka) terhadap Allah dengan taqdir-taqdir dan ujian-ujiannya atas kita.

Demikian jawaban yang bisa kami berikan, semoga dipahami dan bermanfaat.

Wallahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.

Tinggalkan komentar

Filed under Keluarga Sakinah, Konsultasi, Tazkiyah dan Akhlak

Berbagi Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s