Pertanyaan:
Assalamualaikum wr.wb
Saya seorang istri yang menjadi mualaf 4tahun yang lalu,yang masih belum tahu banyak tentang hukum-hukum yang ada di agama Islam(masih belajar).
pertanyaan saya:
- Saat ini mertua saya terlilit hutang yg begitu banyak dan kalo mau melunasinya kemungkinan sangat kecil,karena mertua saya hanyak pensiunan PNS,menurut hukum Islam yg saya pelajari apabila orang tua kita meninggal yang nanti akan melunasi hutangnya adalah anak(dalam hal ini suami saya) apakah itu benar pak Ustad.
- Dan misal bila nanti (bukannya mendahului Allah) karena suami pernah bilang nanti kalo aku(maksudnya suami) meninggal dulu yang melunasi hutang adalah saya sebagai istri,benarkah begitu pak Ustad?karena bukankah yang punya hutang itu bukan suami saya tetapi bapaknya,kenapa jadi hutangnya di limpahkan kepada saya.
Terus terang pak Ustad sebagai seorang mualaf saya bingung dan selalu berpikir ,lha kalo saya sampai mati hutang itu tidak bisa saya bayar apa yang harus bayar anak saya?mengapa anak saya yang tidak tahu apa-apa juga harus menanggung semua?
Demikian pertanyaan saya pak Ustad.terimakasih atas jawabannya
– Umi
Jawab:
Alhamdulilah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Kami turut bergembira dan bersyukur atas hidayah Allah yang diberikan kepada Anda sehingga Anda bisa memilih jalan kebenaran satu-satunya, yakni Islam. Kami medoakan semoga Allah mengaruniakan taufiq-Nya kepada Anda untuk tetap istiqamah dan terus meningkatkan kualitas keimanan dan keislaman disamping kepahaman yang benar tentang ajaran Islam.
Adapun tentang pertanyaan-pertanyaan Anda tersebut, maka jawabannya adalah tidak benar apa yang Anda pelajari dan juga yang dikatakan suami Anda tentang masalah tanggungan hutang itu. Yakni tidak benar bahwa, di dalam Islam ada tanggungan hutang yang turun temurun seperti yang Anda ilustrasikan itu. Yang benar justru kebalikan dari itu. Yaitu bahwa, menurut konsep Islam, pada prinsipnya setiap orang itu hanya memikul beban dan tanggungannya sendiri, dan tidak memikul beban dan tanggungan orang lain, meskipun orang lain itu adalah orang tuanya, atau anaknya, atau suaminya, atau istrinya, atau keluarganya yang lain sekalipun. Baik itu beban dan tanggungan di dunia seperti hutang, ataupun di akhirat seperti dosa dan siksa misalnya. Sebagaimana juga dalam hal balasan baik dan pahala, dimana konsep Islam menegaskan bahwa, setiap orang pada prinsipnya hanya akan menerima dan memperoleh pahala dan balasan baik dari hasil amal dan usahanya pribadi, dan tidak dari hasil amal dan usaha orang lain. Itu adalah prinsip dan kaidah. Meskipun tentu saja ada pengecualian-pengecualiannya, sebagaimana setiap kaidah selalu mengandung beberapa pengecualian.
Perhatikanlah misalnya firman Allah berikut ini (yang artinya): “Dan orang yang punya beban tanggungan (dosa dan kesalahan) tidak akan memikul beban tanggungan (dosa dan kesalahan) orang lain. Dan jika seseorang yang berat beban tanggungan dosa dan kesalahannya memanggil (orang lain) untuk memikul beban dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya sekalipun” (QS. Faathir [35]: 18).
Allah juga berfirman (yang artinya): “Bahwasannya orang yang menanggung beban dosa dan kesalahan tidak akan memikul beban dosa dan kesalahan orang lain. Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya sendiri” (QS. An-Najm [53]: 38-39).
Dan masih banyak lagi ayat lain maupun juga hadits yang semuanya menegaskan makna yang sama. Yakni bahwa, di dalam Islam tidak dikenal dan tidak diakui adanya beban tanggungan turunan, sebagaimana juga tidak ada pahala atau kemuliaan turunan. Yang ada adalah bahwa, masing-masing orang akan menanggung beban dosa dan kesalahannya sendiri-sendiri, sebagaimana ia hanya akan mendapatkan balasan atas amal usahanya sendiri.
Jadi jika hutang tersebut misalnya sampai terbawa mati dan belum terlunasi, maka memang benar ia akan menjadi beban tanggungan yang memberatkan, tapi bagi siapa? Tidak lain ya bagi pihak yang berhutang, yang dalam hal ini adalah bapak mertua Anda. Dan jika terkait dengan hutang-hutang yang tidak terlunasi itu ada beban kesalahan dan dosa, maka bapak mertua itu jugalah yang akan menanggungnya sendiri, bukan orang lain meskipun ia adalah anak atau isteri sekalipun.
Tapi apakah berarti benar-benar tidak ada beban kewajiban apapun atas sang anak atau sang isteri atau keluarga yang lainnya terkait masalah itu. Tentu saja ada beban kewajiban itu, yang jika tidak ditunaikan, maka tentu ia akan ikut menanggung beban dosa dan kesalahan juga. Tapi bentuk dan sifat kewajiban tersebut bukanlan berupa pelimpahan secara total seluruh beban tanggungan (seperti hutang tadi) dari orang tua kepada anak misalnya, atau dari suami kepada isteri, atau sebaliknya. Bukan demikian bentuk dan sifatnya. Tapi bentuk dan sifat kewajiban tersebut berupa kewajiban membantu jika yang bersangkutan mampu, yakni anak wajib membantu meringankan beban orang tuanya jika sang anak memang mampu, begitu pula isteri wajib membantu untuk meringankan beban suaminya jika sang isteri memang benar-benar mampu, begitu seterusnya.
Dan sebagaimana itu telah menjadi kaidah yang disepakati dan berlaku selama ini dalam hal pola hubungan antar anggota keluarga di dalam kehidupan di dunia ini, maka itu juga tetap berlaku sampai setelah sebagian anggota keluarga wafat, sedangkan ia masih meninggalkan beban tanggungan yang bisa diganti tunaikan oleh keluarganya yang mampu. Jadi sekali lagi sifatnya adalah kewajiban membantu untuk ikut melunasi hutang orang tua itu jika sang anak, yang dalam hal ini adalah suami Anda, memang mampu. Dan kewajiban itu sebenarnya sudah berlaku sejak sekarang, saat sama-sama masih hidup, tanpa harus menunggu sampai sang ayah meninggal. Yakni jika memang suami Anda sebagai anak berkemampuan dan berkecukupan saat ini, sementara orang tuanya berkekurangan sehingga tidak mampu membayar hutang-hutang yang melilitnya, maka sejak sekarang juga ia berkewajiban membantu meringankan beban orang tuanya tersebut. Kewajiban inilah yang lalu berlanjut sampai setelah sang ayah meninggal dengan menyisakan hutang-hutang yang belum dibayarnya.
Adapun berapa kadar dan batas kewajiban membantu tersebut, apakah hanya cukup sebagian saja atau harus sampai tuntans seluruhnya? Itu semua relatif sifatnya, yang ditentukan oleh faktor kemampuan. Jika mampunya misalnya hanya membantu meringankan seperempat beban tanggungan hutang yang ada saja atau sepertiganya atau setengahnya, berarti kadar dan batas kewajibannya ya sesuai dengan kadar dan batas kemampuannya tersebut. Termasuk jika ia mampu menanggungnya semuanya, maka bisa jadi itulah kewajiban yang harus ditunaikannya.
Wallahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.