Pertanyaan:
Assalamualaikum wr. wb
Saya ingin bertanya sebagai berikut :
yang saya tahu, berbohong pada saat puasa akan mengurangi pahala puasa, tapi puasanya tidak batal.
Saya bekerja di bagian pajak di sebuah perusahaan yang mana pada saat saya berpuasa ramadhan ada pemeriksaan oleh kantor pajak. Jadi dalam menjawab pertanyaan dari petugas sering memberikan jawaban yang tidak sesuai / bohong karena kepentingan perusahaan. Bagaimana saya menyikapinya karena tahun ini besar kemungkinan hal tsb terjadi lagi.
Terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamualaikum wr. Wb
– Savitri
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Sebagaimana yang telah sama-sama kita tahu dan yakini bahwa, berbohong atau berdusta dalam perkataan adalah haram dan merupakan salah satu dosa besar. Ia juga merupakan salah satu sifat orang munafiq (lihat HR. Muttafaq ‘alaih). Dan di dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya berlaku jujur itu akan membimbing kepada kebajikan, dan kebajikan akan menuntun (seseorang) ke dalam Surga. Sungguh orang yang selalu jujur itu akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq (ahli jujur). Sedangkan berdusta/berbohong itu akan menyeret kepada kedurhakaan, dan kedurhakaan akan menjerumuskan (seseorang) ke dalam jurang api Neraka. Sungguh seseorang yang senantiasa berdusta/berbohong itu akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang kadzdzab (tukang dusta/bohong)” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dengan demikian, maka wajiblah bagi kita, sebagai konsekuensi keimanan dan tuntutan keislaman, untuk berusaha selalu berprilaku dan berucap jujur, dan berupaya seoptimal mungkin untuk menghindari prilaku dusta dan perkataan bohong. Apalagi di bulan Ramadhan saat kita berpuasa, dimana perkataan dusta dan prilaku curang, meskipun tidak membatalkan puasa, tapi akan sangat mengurangi nilai dan pahala puasa kita, dan bahkan mungkin bisa sampai membuatnya sia-sia tanpa nilai dan pahala sama sekali, kalau bukan justeru dosa yang kita dapat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perilaku curang, maka benar-benar Allah tidak butuh pada puasanya dengan hanya meninggalkan makan dan minumnya saja” (HR. Al-Bukhari).
Meskipun memang selalu ada hukum pengecualian dalam setiap kaidah, termasuk dalam hal keharaman berdusta dan berbohong ini. Dan pengecualian dalam hal ini, sebagaimana juga dalam hal-hal yang lainnya, adalah dalam kondisi darurat/terpaksa atau dalam kondisi adanya hajah mulihhah (kebutuhan yang sangat mendesak). Dimana di dalam kondisi-kondisi yang benar-benar terpaksa (dan bukan yang sekadar dibayangkan, dianggap atau dipersepsikan terpaksa) atau adanya kebutuhan yang benar-benar mendesak secara riil (dan bukan pula yang sekadar dalam bayangan atau masih dalam perkiraan), seseorang ditolerir dan dibenarkan untuk berdusta atau berbohong, atau bisa malah disunnahkan, bahkan – dalam kondisi-kondisi tertentu – bisa sampai diwajibkan. Tapi meskipun demikian, andai masih ada alternatif untuk tidak benar-benar berdusta dan berbohong, maka alternatif itulah yang semestinya dipilih dan ditempuh. Misalnya dengan melakukan tauriyah, yang berarti bersikap diplomatis dengan memilih kata-kata atau ungkapan tertentu, yang benar dan jujur adanya jika menurut niat dan tujuan yang mengatakan, meskipun bisa bermakna dan dianggap dusta atau bohong jika menurut penangkapan dan pemahaman pihak lain yang mendengarnya..
Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa, perkataan adalah sarana untuk tujuan tertentu. Dan setiap tujuan yang terpuji, jika masih bisa dicapai dengan tanpa dusta, maka berdusta tetap haram (kaarena berarti belum terpaksa!). Namun jika (tujuan yang baik dan terpuji tersebut) tidak mungkin dicapai dan diwujudkan, kecuali dengan cara berbohong dan berdusta, maka berdusta/berbohongpun jadi boleh…Selanjutnya beliau mengatakan bahwa, (meskipun boleh berdusta) namun sikap yang lebih berhati-hati di dalam kondisi-kondisi itu semua adalah dengan melakukan tauriyah… (lihat Riyadhush Shalihin bab: Penjelasan Dusta yang Boleh, hal. 498-499).
Adapun dalam konteks kasus dan posisi Anda, maka yang perlu dilakukan adalah beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Anda harus mengkaji dan mengamati untuk memastikan bahwa, kepentingan perusahan yang dimaksudkan itu, dan yang membuat Anda harus berbohong itu, adalah benar-benar sudah termasuk dalam kondisi keterpaksaan atau kebutuhan mendesak yang riil, seperti yang telah dipaparkan diatas.
Kedua, Anda harus berupaya optimal dan maksimal untuk menghindari dusta dan bohong misalnya dengan melakukan tauriyah (berdiplomasi) secara cerdas, seperti yang telah disebutkan.
Ketiga, baru jika alternatif tauriyah-pun benar-benar tidak bisa ditempuh, maka ditolerir dan dibolehkan bagi Anda untuk berbohong dalam kondisi itu, tanpa adanya beban dosa, karena memang tidak dinilai sebagai pelanggaran.
Keempat, adapun jika menurut pengkajian dan pengamatan obyektif Anda, yang disebut dengan kepentingan perusahaan tersebut, sebenarnya belum termasuk kategori kondisi darurat/keterpaksaan, dan bahkan juga belum merupakan kebutuhan yang mendesak secara riil, maka dalam kondisi seperti itu Anda harus berfikir keras dan berusaha maksimal untuk bagaimana caranya bisa beralih ke posisi lain yang relatif lebih aman dan lebih nyaman.
Demikian jawaban yang bisa kami berikan, semoga dipahami dan bermanfaat. Semoga Allah memberi Anda dan kita semua karunia taufiq untuk mendapatkan kemudahan dan alternatif terbaik dalam urusan-urusan kita. Aamiin.
Wallahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.