Bakti & Membacakan Al-Qur’an Ke Almarhum

Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum Wr Wb

Saya barusan kehilangan Ibu saya tercinta bulan kemaren, yang mau saya tanyakan :

1. Kewajiban / Bakti anak terhadap orang tua yang sudah meninggal ?

2. Apakah boleh mengaji ayat suci Al-Qur’an ditujukan ke Almarhumah ? (Karena saya dengar dari pengajian, Al-Qur’an ditujukan buat orang yang masih hidup dan bukan untuk orang yang sudah meninggal

3. Apakah boleh Mengaji ayat suci Al- Qur’an di tempat pemakaman ?

Note : Kalau ada dalil ( Al-Qur’an maupun Hadist ) penguat mohon dicantumkan untuk memperkuat ilmu saya

Terima Kasih

– Akhmad

Jawab:

Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:

Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Anda di atas:

  1. Ada beberapa bentuk bakti anak terhadap orang tuanya yang telah meninggal, sebagiannya disepakati atau hampir disepakati di antara para ulama, dan sebagian yang lain diperselisihkan. Dan yang disepakati atau hampir disepakati itu adalah:
    • Dengan mendoakan dan memohonkan ampunan bagi almarhum atau almarhumah. Dan tentang hal ini tidak ada sedikitpun perselisihan di antara seluruh ulama. Karena dalil-dalinya memang sangat banyak, baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits, dan lainnya. Misalnya firman Allah (yang artinya): “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, berikanlah ampunan kepada kami dan kepada saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan adanya kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hasyr [59]: 10). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Apabila seorang anak manusia meninggal, maka terputuslah (peluang dan pahala) amalnya, kecuali dari tiga (jalur) yaitu: shadaqah (amal) jariyah, ilmu (yang pernah diajarkannya) yang tetap bermanfaat, dan seorang anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
    • Dengan cara berinfak dan bersedekah untuk dan atas nama almarhum atau almarhumah. Imam An-Nawawi menuturkan adanya ijma’ ulama bahwa, sedekah atas nama mayit adalah sah dan pahalanya bisa sampai kepadanya. Baik yang melakukannya anak si mayit atau orang lain. (lihat: Fiqhus Sunnah oleh Sayyid Sabiq jilid I/335-336). Dan hal itu berdasarkan antara lain hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa, seorang laki-laki pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya bapakku telah wafat, dan meninggalkan sejumlah harta, namun tidak meninggalkan wasiat apapun. Maka jika aku mau bersedekah untuk atau atas namanya, apakah itu bisa menghapuskan dosa-dosanya? Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam menjawab (singkat): Ya (bisa). (HR. Muslim, Ahmad, dan lain-lain).
    • Dengan cara berhaji dan atau berumrah untuk dan atas nama almarhum atau almarhumah. Tapi disyaratkan bahwa, yang bersangkutan harus sudah berhaji dan berumrah untuk dirinya dulu, setelah itu baru ia boleh menghajikan dan mengumrahkan orang tuanya yang telah wafat. Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyalahu ‘anhuma, beliau bercerita: Ada seorang wanita dari kabilah Juhainah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk haji, namun belum melaksanakannya sampai beliau meninggal, apakah boleh aku berhaji menggantikannya? Beliau menjawab: “Berhajilah untuknya! Bagaimana menurutmu seandainya ibumu punya hutang, bukankah kamu akan membayarnya? Maka bayarlah (hutang pada Allah). Karena Allah lebih berhak dibayar (hutang terhadap-Nya) (HR. Al-Bukhari).
    • Adapun puasa, baca Al-Qur’an dan shalat untuk atau atas nama mayit, maka diperselisihkan di antara para ulama. Dan kami lebih cenderung kepada pendapat yang tidak membenarkannya. Kecuali yang berupa hutang puasa atas si mayit, maka anaknya atau salah seorang kerabatnya boleh membayarkan hutang puasa tersebut untuk dan atas namanya. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: Sesungguhnya ibuku meninggal dalam kedaan punya hutang puasa satu bulan, apakah boleh aku menggantikannya untuk membayar hutang puasanya itu? Beliau menjawab: “Seandainya ibumu punya hutang (uang atau barang), apakah kamu akan membayarkan hutangnya itu? Si lelaki itupun menjwab: Ya, tentu! Beliau lalu bersabda lagi: Jika demikian, maka hutang (pada) Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR. Al-Bukhari, Muslim).
  2. Mengaji atau membaca ayat-ayat atau surat-surat Al-Qur’an, seperti Al-Fatihah, Yaasiin, dan lain-lain, yang ditujukan untuk orang yang telah wafat, biasa dikenal dengan istilah pengiriman atau penghadiahan pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayit. Ini termasuk masalah khilafiyah yang diperselisihkan di antara para ulama. Semuanya murni berdasarkan hasil ijtihad, karena tidak ada satupun dalil khusus yang shahih (kuat) dan sharih (tegas) dalam hal ini, baik yang menyontohkan maupun yang melarang. Jumhur ulama madzhab menyetujui hal itu, yakni bahwa pengiriman pahala bacaan tersebut bisa sampai kepada si mayit. Tapi ada kelompok ulama lain yang tidak menyetujuinya, karena mereka berpendapat bahwa pengiriman pahala tersebut tidak bisa sampai. Dan salah seorang ulama serta imam besar yang dikenal termasuk yang tidak setuju itu adalah imam kita Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Sementara itu kami lebih cenderung kepada pendapat yang terakhir ini, meskipun di saat yang sama – sesuai dengan kaidah penyikapan dalam masalah-masalah khilafiyah – kami juga sangat mentolerir dan menghormati siapa saja di antara kaum muslimin yang mempraktekkannya.
  3. Meskipun hal itu sudah sangat umum dilakukan oleh banyak kaum muslimin, namun kami lebih cenderung kepada pendapat ulama yang tidak menyetujuinya, karena karena beberapa dalil. Misalnya hadits berikut ini (yang artinya): “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian ibarat kuburan (dengan tidak dilakukan ibadah-ibadah di dalamnya, seperti baca Al-Qur’an, shalat, dzikir, dan lain-lain). Sesungguhnya syetan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibaca surat Al-Baqarah (insyaa-allah juga surat-surat Al-Qur’an yang lainnya)” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). Inti dari hadits ini, adalah perintah serta anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar kita banyak-banyak membaca Al-Qur’an seperti surat Al-Baqarah misalnya (baik di dalam shalat ataupun di luar shalat) di rumah kita, supaya rumah kita tidak menjadi seperti kuburan atau makam! Itu artinya bahwa kuburan atau makam bukanlah tempat untuk membaca Al-Qur’an, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.

Demikianlah jawaban yang bisa kami berikan, semoga dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a’lam, wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.

Tinggalkan komentar

Filed under Halal - Haram, Konsultasi

Berbagi Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s