Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb
Saya ibu rumah tangga, anak saya laki-laki saat ini berusia 2 th 2 bln tp blm diaqiqah, insya allah saya akan meng aqiqahkan anak saya. yang ingin saya tanyakan:
- Bagaimana sahnya aqiqah menurut islam?
- Apakah sah klo kita hanya pesan daging kambing langsung saji tanpta kita menyaksikan waktu penyembelihan?
- Apakah utk pemesanan/pembelian kambingnya harganya tdk boleh ditawar-tawar dan kulit serta kepalanya tdk boleh diperjual belikan?
Selama in saya sering depat sama suami saya masalah sah nya aqiqah. Mungkin dengan penjelasa pak ustad kita bisa lebih terbuka.
wassalamu’alaikum wr. wb
– Nuryani
Jawab:
Bismillah, walhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, Amma ba’du:
Aqiqah adalah sebuah tuntunan syariah dalam ajaran Islam yang berupa ibadah ritual menyembelih seekor atau dua ekor kambing sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas kelahiran seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para ulama salaf rahimahumullah. Dan hukum melaksanakannya, menurut pendapat jumhur ulama, adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan dan dianjurkan, tentu saja bagi yang mampu dan berkecukupan).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Setiap bayi yang lahir itu tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan kambing untuknya pada hari ketujuh kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberi nama (pada hari itu juga)” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasaa-i, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dan dalam hadits lain riwayat empat imam pemilik kitab-kitab As-Sunan itu pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meng-aqiqahkan dua cucunda tercinta beliau, Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma, masing-masing satu ekor kambing kibas.
Adapun tentang batasan sahnya aqiqah adalah dengan menyembelih minimal seekor kambing (diniatkan sebagai aqiqah), yang memenuhi syarat-syarat seperti syarat-syarat kambing qurban, sebagai berikut:
- Kambing telah berumur satu tahun
- Tidak dalam kondisi sakit secara mencolok
- Tidak cacat dan juling matanya secara mencolok
- Tidak pincang dengan kepincangan yang mencolok
- Tidak kurus secara mencolok (tentang syarat-syarat nomor 2-5, lihat HR. At-Tirmidzi).
Jika kambing yang disembelih dengan niat aqiqah telah memenuhi syarat-syarat tersebut, maka aqiqah telah sah, kapanpun waktu penyembelihannya, khususnya sebelum anak beranjak dewasa atau sebelum mencapai usia balig. Adapun hukum dan cara pemanfaatan dagingnya setelah disembeluh, secara umum, juga sama dengan hukum dan cara pemanfaatan daging hewan qurban, antara dimakan sendiri sekeluarga, disedekahkan, dihadiahkan, dan dibagi-bagikan kepada siapa saja, baik mentahan maupun setelah dimasak (tentu ini lebih afdhal, karena lebih meringankan penerimanya).
Adapun jika ingin melaksanakan aqiqah sesuai dengan sunnah secara sempurna, maka hendaklah diperhatikan dan diamalkan sunnah-sunnah berikut ini:
- Dua ekor kambing untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan,
- Penyembelihan dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi yang diaqiqahkan, atau hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu (HR. Al-Baihaqi).
- Pada hari penyembelihan aqiqahnya, rambut bayi dicukur, lalu ditimbang, dan dilakukan shadaqah kepada fakir miskin senilai berat timbangan rambutnya itu dengan standar perak (lihat HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
- Pada hari itu pula sang bayi diberi nama dengan nama yang sebaik-baiknya. Meskipun untuk memberi nama ini, boleh dan termasuk sunnah juga jika dilakukan pada hari kelahiran sang bayi.
- Penyembelihan hewan aqiqah dilakukan sendiri oleh orang tua bayi yang mengaqiqahkan, atau minimal disaksikan olehnya, jika penyembelihan diwakilkan kepada orang lain. Hal ini diqiyaskan dengan cara penyembelihan hewan qurban, karena secara umum pelaksanaan dan hukum aqiqah, menurut para ulama, disamakan dengan pelaksanaan dan hukum qurban.
- Begitu pula cara pemanfataan dagingnya, sama seperti cara pemanfaatan daging qurban, yakni: sebagian dimakan dan dimanfaatkan oleh keluarga yang melaksanakan aqiqah, sebagiannya disedekahkan kepada fakir miskin dan sebagian yang lainnya lagi dihadiahkan kepada sanak famili, para tetangga dan kenalan, termasuk yang kaya sekalipun.
Akhirnya berikut ini jawaban singkat atas tiga pertanyaan Ibu:
- Jawaban atas pertanyaan pertama ini sudah ada dalam penjelasan diatas.
- Hukum aqiqah dengan langsung membeli daging di pasar (seberapapun banyaknya) atau dengan hanya pesan daging kambing langsung saji, adalah tidak sah sebagai aqiqah. Karena inti dan esensi dari ibadan ritual aqiqah, seperti halnya qurban, adalah pada prosesi penyembelihannya, dan bukan pada faktor pembagian dagingnya atau walimahan-nya! Adapun jika yang dimaksud adalah memesan beli kambing aqiqah (dengan transaksi pembelian kambing hidup, bukan dagingnya) pada pihak penyedia layanan aqiqah dan qurban, yang banyak terjadi saat ini, lalu sekaligus menyerahkan dan mewakilkan proses penyembelihan dan pemasakannya kepada pihak penyedia layanan tersebut (tentu yang amanah), untuk diterima nantinya langsung dalam bentuk sudah siap saji, tentu dengan biaya tambahan yang telah disepakati. Ya. Jika yang dimaksud adalah seperti itu, meskipun kurang afdhal dan kurang ideal dalam pelaksanaan aqiqah, tapi cara tersebut masih ditolerir dan tetap boleh serta sah.
- Tidak ada larangan melakukan tawar-menawar harga dalam pembelian atau pemesanan kambing aqiqah maupun qurban. Adapun tentang kulit, kepala atau bagian manapun dari hewan aqiqah, maka benar tidak boleh diperjual belikan oleh pihak (orang tua bayi) yang melaksanakan aqiqah tersebut. Sebabnya karena penyembelihan hewan aqiqah, seperti halnya qurban, adalah merupakan ibadah ritual persembahan untuk Allah Ta’ala. Maka sejak ditetapkan untuk aqiqah yang telah dipersembahkan untuk Allah, maka seekor kambing telah murni menjadi “milik” Allah, dan sudah bukan menjadi milik pengaqiqahnya lagi, sehingga ia tidak dibenarkan mengambil atau mengurangi bagian manapun dari kambing tersebut kecuali atas izin dan perkenan Allah. Dan Allah Ta’ala – melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya mengizinkan “milik”-Nya itu untuk dikonsumsi saja oleh pihak pengaqiqah dan keluarganya, disimpan, dan dibagi-bagikan sebagai sedekah atau hadiah, dan tidak untuk dijual (diqiyaskan dengan hewan qurban). Adapun jika yang menjual kulit atau kepala atau bagian manapun dari hewan sembelihan aqiqah tersebut, seperti juga qurban, adalah pihak atau orang lain yang menerimanya sebagai sedekah atau hadiah, maka hal itu boleh dan tidak terlarang.
Wallahu a’lam, wa Hul-Muwaffiq wal-Haadi ilaa sawaa-issabiil.