Pertanyaan:
Ass.WR.WB
Saya ingin tanya gimana kita dapat menerima semua yg terjadi pada diri kita dengan iklas dan penuh rasa syukur walaupun yang terjadi itu tidak seperti yang diiginkan.
Wassalamu’alaikum
– Enny
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Itu sangat ditentukan oleh tingkat kualitas iman kita kepada Allah secara umum dan iman kita kepada taqdir Allah secara khusus. Ya. Kita hanya bisa ikhlas dan syukur dalam menerima setiap yang terjadi pada diri kita, termasuk yang tidak sesuai keinginan sekalipun, jika kita telah beriman kepada taqdir Allah secara benar, jujur dan sungguh-sungguh. Dan beriman kepada taqdir secara benar, jujur dan sungguh-sungguh itu memiliki beberapa kaidah yang harus kita pahami dan terapkan, antara lain sebagai berikut:
- Mengimani dan meyakini bahwa, segala kejadian di alam ini, termasuk pada diri kita, sekecil apapun, semuanya merupakan taqdir yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah jauh sebelum Allah menciptakan alam ini sendiri. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadiid [57]: 22). Dan apa yang telah Allah tulis taqdir ketentuannya, baik atau buruk dalam pandangan kita, maka pasti akan terjadi persis seperti yang tertulis itu tanpa bisa digeser atau diubah sedikitpun oleh siapapun. Nah, jika demikian halnya, maka sikap menolak atau memprotes atau menggerutu dan semacamnya, terhadap apa yang terjadi di luar keinginan kita, adalah sikap bodoh, karena tidak bermanfaat sama sekali, sia-sia belaka, dan bahkan hanya akan merugikan diri sendiri. Maka tidak ada sikap yang lebih baik selain menerima apa yang terjadi dengan legowo, sambil berintrospeksi diri, berusaha menatap ke depan, dan mencari hikmah yang pasti ada di balik setiap yang terjadi.
- Menguatkan keimanan dan keyakitan bahwa, Allah dengan segala taqdir dan ketetapan-Nya adalah Maha Bijak dan Bijaksana. Itulah makna kata Al-Hakiim yang merupakan salah satu Al-Asmaa’ Al-Husna milik Allah. Maka kita harus senantiasa ingat dan mengingat-ingat nama Allah yang satu ini, tentu disamping nama-nama yang lain. Jadi dengan begitu, kita wajib yakin, pasti ada dan bahkan banyak hikmah di balik setiap taqdir yang Allah gariskan dan tetapkan, meskipun kita tidak mengetahui kebanyakan hikmah itu. Namun kita tetap percaya dan yakin. Karena inilah salah satu konsekuensi keimanan kita kepad Allah.
- Menguatkan keimanan dan keyakinan bahwa, Allah dengan segala taqdir dan ketentuan-Nya adalah Maha Mengetahui tentang yang baik dan yang buruk, yang manfaat dan yang madharat, bagi diri kita dan bagi kehidupan ini. Karena semuanya, diri kita dan semua yang ada di alam ini adalah makhluk ciptaan Allah. Maka tentu Allah-lah Yang Maha Tahu tentang segala yang baik dan yang buruk bagi makhluk ciptaan-Nya. Sementara itu sebaliknya manusia pada hakekatnya tidak tahu tentang yang baik dan yang buruk bagi diri dan hidupnya sendiri. Sehingga belum tentu apa yang dianggapnya baik itu benar-benar baik untuknya, dan belum tentu apa yang dikiranya buruk itu benar-benar buruk baginya. Allah Ta’ala berfirman tentang ini (yang artinya): “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Tapi boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah-lah Yang Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
- Menguatkan pemahaman dan keyakinan bahwa, jika keburukan menimpa kita maka sangat boleh jadi itu adalah merupakan sanksi dan hukuman yang Allah segerakan atas dosa dan kemaksiatan yang telah kita perbuat. Dan itu jauh lebih baik daripada jika hukuman itu Allah Ta’ala tangguhkan berupa adzab yang pedih di akherat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Jika Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba-Nya, maka Dia akan menyegerakan hukuman baginya di dunia (untuk menghapus dosanya itu). Dan jika Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba-Nya, maka Dia akan menahan baginya dosanya sampai Dia nanti menyempurnakan balasan (berupa siksa neraka) akibat dosa tersebut pada hari kiamat”, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula (yang artinya): “Sesungguhnya besarnya pahala balasan itu sesuai dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala jika menyintai suatu kaum, maka Dia justru akan memberikan ujian pada mereka. Maka barangsiapa yang ridha, ia sendiri yang akan untung dengan keridhaannya itu, dan barangsiapa yang menggerutu, maka ia sendiri pulalah yang akan menanggung kerugian atas sikapnya menggerutu itu” (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).
- Di samping fungsi dan hikmah menghapus dosa-dosa, ujian keburukan juga bisa berarti bukti cinta dan kasih sayang Allah bagi seorang hamba, serta tanda kebaikan yang Allah inginkan baginya, dengan tujuan untuk semakin menyucikan jiwanya dan meningkatkan derajatnya di sisi Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang Allah kehendaki baik, maka Dia justru akan memberikan ujian untuknya” (HR. Al-Bukhari).
- Dan masih banyak lagi kaidah-kaidah yang lainnya. Tapi mudah-mudahan yang telah kami sebutkan di atas bermanfaat dan cukup mewakili. Namun kami ingin menambahkan satu hal yang sangat penting. Yaitu bahwa, rasa ikhlas dan syukur dalam hidup secara umum dan dalam menerima setiap taqdir yang terjadi secara khusus, adalah merupakan karunia dan taufiq Allah tersendiri, yang hanya Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang berhak. Dan yang berhak adalah hamba Allah yang dekat dengan-Nya. Maka untuk itu kita harus selalu menjaga dan meningkatkan upaya-upaya taqarrub (pendekatan diri) kita kepada Allah, dengan memperbanyak ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.