Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb.
Bagaimana sebenarnya hukum KB (Keluarga Berencana)?
Terima kasih. Mohon penjelasannya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
– Alif
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du: Tentang hukum KB dengan arti niat dan keinginan mengatur kelahiran anak, menjarangkannya atau bahkan sampai menyetopnya, pada dasarnya (hukum asal niat dan keinginan seperti itu) boleh-boleh saja, selama sarana yang ditempuh tidak mengandung pelanggaran. Meskipun jika dengan tanpa alasan syar’i yang kuat, hukumnya bisa makruh atau hukumnya sesuai kondisi kasus per kasus.
Tapi ketika bicara tentang masalah KB (baik penjarangan maupun penyetopan) biasanya dan sebenarnya lebih mengarah pada pembicaraan seputar sarana yang ditempuh dan alat kontrasepsi yang dipilih untuk mewujudkan niat dan keinginan tersebut. Nah masalah hukum KB biasanya sangat terkait dan ditentukan oleh masalah sarana atau alat kontrasepsinya ini. Dan untuk masalah sarana KB dan alat kontrasepsinya ini umumnya memang bermasalah, dan hukum dasarnya terlarang dengan tingkat larangan yang berbeda-beda. Tentu saja kecuali KB dengan cara-cara alami atau semi alami seperti : KB kalender, ‘azl (Coitus Interuptus), KB kondom dan cara alami lain yang semacam atau sejenis itu . Adapun yang lainnya, seperti KB pil dan kapsul, KB suntik , susuk, spiral, vasektomi, tubektomi dan semacamnya, maka pada prinsipnya tidak syar’i dan tidak dibenarkan, karena dapat menimbulkan dampak negatif dan kemadharatan, serta mengandung unsur-unsur pelanggaran syar’i. Sedangkan kita dilarang untuk melakukan tindakan apapun yang bisa menimbulkan kemadharatan baik terhadap orang lain atau terhadap diri sendiri, kecuali jika ada kemaslahatan yang lebih besar atau untuk menghindari kemadharatan yang lebih besar. Dengan kata lain, karena adanya kondisi darurat/terpaksa atau adanya kebutuhan/kemaslahatan riil yang besar. Dan untuk memutuskan apakah sudah ada kondisi darurat atau belum, sudah terpaksa atau belum, dan sejauh mana/seberapa tingkat kemungkinan dampak negatifnya dibandingkan dengan tingkat kemaslahatan yang ingin diwujudkan atau tingkat kemadharatan lain yang ingin dihindari, untuk itu semua harus dilihat dan dikaji secara kasus perkasus.