Pertayaan:
Assalamualaikum,
Gimana hukumnya orang yg sdh Wafat kita naikkan haji tanpa ada wasiat dr si almarhum, dan bagaimana haji titipan dgn syarat Foto dan sejumlah uang,
kalau ada mohon disertakan dasar hukumnya(Alquran & Hadist)
– udik
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah,amma ba’du:
Haji dan umrah termasuk ibadah yang dalam pelaksanaannya boleh digantikan dan dilaksanakan oleh orang lain, baik itu untuk orang yang masih hidup (dengan syarat tidak mampu melakukannya sendiri secara fisik) maupun untuk yang
telah meninggal. Dan untuk kondisi kedua ini, yakni dalam kondisi yang digantikan telah wafat, sama saja apakah atas dasar wasiat dari almarhum ataukah tidak, dua-duanya sama-sama boleh.
Namun yang perlu diketahui adalah bahwa, pihak yang melakukan haji dan atau umrah untuk orang lain, siapapun dia, disyaratakan harus sudah pernah melakukan haji dan atau umrah untuk dirinya sendiri sebelumnya. Sehingga jika seseorang belum pernah haji dan atau umrah untuk dirinya sendiri, maka ia tidak bisa menghajikan atau mengumrahkan orang lain.
Dan dalil-dalil tentang masalah tersebut diatas antara lain sebagai berikut.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, di tengah-tengah pelaksanaan manasik haji, ada seorang perempuan dari suku Khats’am bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Wahai Rasulallah, sesungguhnya kewajiban haji telah Allah tetapkan atas hamba-hamba-Nya sementara ayahku telah tua renta tidak mampu lagi menunggang hewan kendaraan. Maka apakah boleh jika aku menghajikan beliau? Beliau menjawab: “Iya, boleh” (HR.Muttafaq ‘alaih dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma).
Dan dalam hadits lain Ibnu ‘Abbas bercerita bahwa, ada seorang wanita dari suku Juhainah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk haji, namun belum bisa menunaikan nadzarnya itu sampai wafat, lalu apakah saya harus menghajikannya? Beliau menjawab: “Iya, hajikanlah dia. Bagaimana menurutmu seandainya ibumu punya tanggungan hutang, bukankah kamu akan membayarkannya? Maka bayarlah (hutang kepada) Allah, karena Allah justru lebih berhak dibayar (hutang kepada-Nya)” (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan dalam haditsnya yang ketiga, Ibnu ‘Abbas bercerita lagi bahwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki (saat berniat/bertalbiyah dalam ihram haji) mengucapkan: Labbaika atas nama Syubrumah. Lalu beliau bertanya: “Siapa itu Syubrumah?”. Lelaki itupun menjawab: ia adalah seorang saudaraku atau seorang kerabatku. Nabi bertanya lagi: “Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?”. Ia menjawab: belum. Beliaupun lalu bersabda: “Berhajilah untuk dirimu dulu, lalu setelah itu (kapan-kapan) berhajilah untuk Syubrumah” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban serta Al-Baihaqi).
Adapun yang Anda tanyakan tentang syarat foto dan uang itu, maka hukumnya tergantung sifatnya mengapa ada syarat itu dan untuk apa. Jika sifat dan peruntukannya melanggar, ya tidak boleh. Tapi jika tidak ada unsur pelanggaran, ya boleh-boleh saja. Tapi karena Anda tidak menjelaskannya, maka kamipun tidak bisa memutuskan.