Jangan Sempitkan Rahmat Allah yang Maha Luas!!

Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat dan kamipun bersama beliau, tiba-tiba (terdengar) seorang a’rabi (Arab “desa”) berdoa di dalam shalatnya (اللّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّداً وَلاَ تَرْحَمْ مَعَنَا أحَداً): Ya Allah rahmatilah aku dan (Nabi) Muhammad (saja), serta jangan Engkau rahmati seorangpun (yang lain) bersama kami (berdua).  Sehingga seusai salam, Nabi-pun langsung menegur dengan sabda beliau (لَقَدْ حَجَّرْتَ وَاسِعاً): Sungguh (dengan doa itu) kamu telah menyempitkan (rahmat Allah) yang luas”. (HR. Al-Bukhari).

Jika kita cermati secara seksama, sebenarnya teguran dan nasehat nabawi diatas itupun “menohok” kita juga secara sangat kuat. Karena, disadari atau tidak, kondisi umumnya kita sejatinya tidak jauh berbeda dengan konten lafal doa sahabat “A’rabi” itu. Bahwa banyak sekali kondisi kita yang juga bisa berarti atau berefek membatasi dan menyempitkan rahmat Allah yang maha luas. Baik melalui sikap-sikap yang eksplisit maupun utamanya yang implisit! Dan baik itu di dalam doa, pemahaman, pemikiran, amal ibadah, tindakan, maupun termasuk dalam aktifitas dakwah serta pergerakan, dan lain-lain.

Ya, betapa banyak mentalitas kita, pola pikir kita, persepsi kita, mindset kita, orientasi kita, prilaku kita, pola hubungan sesama kita, bahasa kita, cara dakwah kita, kondisi kita dan lain sebagainya, yang kesemuanya bisa bermuara pada makna membatasi atau menyempitkan bahkan bisa sampai menghalangi rahmat Allah yang sangat luas tak berbatas! Dimana itu meliputi rahmat Allah di dunia ini dan rahmat-Nya di akherat kelak, mencakup rahmat materi dan rahmat non materi, juga menjangkau rahmat lahir dan rahmat batin. Intinya semua jenis rahmat Allah yang mungkin diberikan kepada manusia.

Ya, betapa banyak kita membatasi dan menyempitkan rahmat Allah yang luas, misalnya dengan doa-doa “retjehan” kita, dengan harapan-harapan “retjehan” kita, dengan cita-cita “retjehan” kita, dengan obsesi-obsesi “retjehan” kita, dengan target-target “retjehan” kita, dengan kesyukuran-kesyukuran “retjehan” kita, dengan kesabaran-kesabaran “retjehan” kita, dengan tobat dan istighfar “retjehan” kita, dengan ikhtiar-ikhtiar “retjehan” kita, dan dengan apapun selainnya yang serba berkadar “retjehan”. Seolah-olah kita tidak yakin akan sifat ke-Maha Rahman dan Rahim-an Allah, dan bahwa keluasan rahmat-Nya meliputi dan menjangkau segala sesuatu tanpa kecuali (lih. QS. Al-A’raf: 156).

Sebagaimana dalam bidang dakwah dan harakah juga, betapa dominan kita justru menyempitkan rahmat hidayah Allah yang maha luas, dengan seperti closed minded (pikiran “cupet”) kita, dengan mindset negative thinking kita, dengan ketertutupan-ketertutupan kita, dengan eksklusifitas-eksklusifitas kita, dengan aktifitas-aktifitas dakwah gaya “petak umpet” kita, dengan pemahaman-pemikiran ekstrem kita, dengan dominasi orientasi kekelompokan kita, dengan yang semacam lainnya, dengan yang selanjutnya, dengan yang seterusnya dan dengan yang lain sebagainya!

Dimana gegara itu semua, rasanya memang sangat tidak salah dan tidak meleset bila sampai ada ungkapan seperti ini misalnya: (الدَّعْوَةُ الإسْلامِيَّةُ مَحْجُوْبَةٌ بِالدُّعَاةِ وَالنَّاشِطِيْنَ الحَرَكِيِّيْنَ أنْفُسِهِمْ). Yakni bahwa, dakwah Islam telah terhijabi, tertutupi atau terhalangi justru oleh para dai dan aktifis harakah itu sendiri!

Wallahul Musta’an. Wallahu a’lam.

Tinggalkan komentar

Filed under Fiqih Pemahaman

Berbagi Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s