Ini merupakan topik terfavorit sekaligus tema prioritas paling utama yang membingkai hampir seluruh kajian keislaman saya selama ini, dengan beragam bidang dan spesialisasi syar’inya.
Maka turunan dan kembangannyapun tentu bisa sangat banyak dan beragam sekali. Sesuai banyak dan beragamnya bidang atau aspek pemahaman serta pemikiran keislaman itu sendiri. Dimana diantara tema-tema turunan itu misalnya: Menata pola pikir, orientasi dan metodologi pemahaman serta pemikiran keislaman kita; Menata pemahaman dan pemikiran akidah kita; Menata pemahaman fikih kita; Menata pemahaman ibadah ritual dan amal spiritual kita;
Berikutnya: Menata pemahaman dakwah dan fikrah pergerakan kita; Menata pemahaman dan pemikiran kejamaahan kita; Menata pemahaman keummatan kita; Menata pemikiran kebangsaan kita; Menata pemahaman problematika kita; Menata pemahaman jalan perjuangan kita; Menata pemahaman amal sosial kita; Menata pemahaman fikih siyasah syar’iyah dan pemikiran politik praktis kita; Menata pemahaman peta konflik dunia: Palestina, Syria, Arab (Timteng), Islam dan global; Dan begitu seterusnya.
Intinya, hampir semua aspek pemahaman dan pemikiran keislaman kita, dalam sudut pandang saya, sangat perlu ditata ulang, direnovasi dan direkonstruksi. Mengapa? Karena seluruh ulama salafus saleh dan khalafus saleh telah sepakat dengan kaidah emas mereka yang sangat terkenal, sampai menjadi judul salah satu bab dalam kitab Shahih Al-Bukhari. Yaitu kaidah (العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ): Ilmu dan pemahaman itu sebelum ucapan dan perbuatan.
Artinya, ucapan, perbuatan, sikap, penilaian, dakwah, pergerakan, perjuangan dan segala sesuatu dalam kehidupan kita ini, sangatlah tergantung dan ditentukan oleh aspek persepsi, ilmu pengetahuan, pemahaman dan pemikiran yang menjadi dasar dan landasan.
Dan secara riil, memang kita dapati serta tentu harus kita akui bahwa, krisis keilmuan, pemahaman dan pemikiranlah yang menjadi salah satu biang utama penyebab berbagai krisis, problem dan dilema multi dimensi yang terjadi di tengah kehidupan kaum muslimin selama ini.
Dimana salah satu sisi krisis pemahaman dan pemikiran yang paling akut sekaligus paling dominan itu adalah maraknya fenomena tak tertatanya pemahaman dan pemikiran yang membuahkan berbagai macam kontradiksi, kerancuan, kesemerawutan dan penjungkir balikan kaidah-kaidah.
Mulai dari orientasi pemahaman sekularisasi, pluralisasi, liberalisasi, parsialisasi, ekstremisasi, simplifikasi, generalisasi, faksionalisasi, hakimisasi, ngawurisasi, jarenesasi dan seterusnya. Sampai pada penafian-penafian, pembalikan-pembalikan dan lain-lain.
Sebagai contoh misalnya saja penafian adanya khilafiyat berikut konsekuensi-konsekuensinya, penafian urut-urutan skala prioritas, penafian prinsip tadarruj (pentahapan), penafian fiqhul waqi’ (fikih realitas), penafian fikih prediksi dan konsekuensi, penafian fiqhus sunan (fikih sunnatullah), juga pembalikan masalah-masalah ushul (prinsip) menjadi furu’ (non prinsip) atau masalah-masalah furu’ yang dibalik menjadi ushul.
Sehingga, jadinya, yang besar biasa dikecilkan, dan yang kecil justru dibesar-besarkan. Yang penting diremehkan, malah yang remeh dipentingkan. Yang prioritas nomor wahid diabaikan, tapi yang “gak prioritas blas” diberi porsi sampai menguras energi dan menghabiskan potensi. Yang seharusnya di awal diakhirkan, namun yang posisinya di akhir, dibalik dan ditempatkan paling awal.
Ada lagi, orang Islam ahli maksiat yang tidak shalat, tidak puasa dan tidak-tidak yang lain semuanya, malah umumnya diabaikan, tidak dipedulikan dan tidak dipersoalkan. Tapi sebaliknya, muslim yang taat ahli ibadah justru seringkali sangat “dipedulikan” dengan “dikejar-kejar”, dipertanyakan dan dipermasalahkan tentang praktik keislamannya dalam hal-hal khilafiyat: dia membaca ushalli atau tidak ushalli, setinggi apa tangannya diangkat saat takbir, qunut subuh atau tidak qunut subuh, pakai “Sayyidina” atau tidak pakai “Sayyidina” saat bershalawat, shalawatan atau tidak shalawatan, yasinan atau tidak yasinan, tahlilan atau tidak tahlilan, maulidan atau tidak maulidan, bahkan sarungan atau tidak sarungan, pecian atau tidak pecian. Dan lain sebagainya. Pokoknya semua serba dipersoalkan. Dan begitu selanjutnya.
Nah, bukankah berbagai kerancuan pemahaman dan kekacauan pemikiran tersebutlah yang menjadi salah satu biang penyebab utama di balik tak terbilangnya dilema, kontradiksi, kesemerawutan dan krisis multi dimensi di internal tubuh umat saat ini?
Dan, jika demikian halnya, agar seluruh bagian kondisi umat bisa kembali tertata rapi secara apik seperti yang seharusnya, maka bukankah diantara prioritas utama langkahnya adalah dengan menata ulang pemahaman dan merekonstruksi pemikiran keislaman kita?
Monggo bila ada yang merasa tidak klik dengan sudut pandang saya ini! Tidak mengapa. Biasa saja. Perbedaan dan keragaman itu rahmat, jika disikapi dengan dewasa, bijak dan proporsional.
Yang terpenting, kita tetap bisa saling mengakui dan menghargai.