Assalamualaikum wr. wb. Ustadz, saya tanya:
1. Saat shalat wajib jahr (subuh, maghrib, isya), apakah makmum harus baca Al Fatihah (setelah Al
Fatihah si imam dan dibaca sirri) atau tidak perlu baca Al Fatihah dan ikut menyimak bacaan Quran si imam?
2. Bolehkah berwudhu di kamar mandi?Jika boleh, harus dari air yang terpancar dari kran bukan yang di bak mandi?
3. Apakah makruh mengelap/mengeringkan dengan handuk air wudhu yang ada di muka dan badan sebelum shalat?
4. Apakah duduk tahiyat pada shalat yg 2 rakaat (subuh & sunnah yg lain) harus seperti tahiyat akhir atau tahiyat awal?
5. Bolehkah istri meng-onani kemaluan suami sebagai alternatif saat istri sedang haid?
6. Bolehkah oral seks bagi pasutri?
Terima kasih atas jawaban Ustadz.
wassalamualaikum wr wb
Ari
JAWAB:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas:
- Ada dua pendapat di dalam masalah ini. Tentang kondisi yang ditanyakan itu, ada pendapat yang tidak membolehkan makmum membaca Al-Fatihah, dan mengharuskannya untuk mendengarkan bacaan imam saja, dan ada pendapat yang tetap mewajibkan atasnya membaca Al-Fatihah. Dan kedua pendapat ini hampir seimbang dan sama kuatnya, jika ditilik dari dalil masing-masing. Pendapat pertama berdalil dengan firman Allah (yang artinya): “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan diam dan tenang, agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-A’raaf 7: 204). Dan di antara dalil kuat madzhab ini adalah hadits (yang artinya): “Seorang imam itu diangkat hanya untuk diikuti. Maka jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan apabila ia membaca, maka perhatikanlah dengan tenang dan diam” (HR. An-Nasaa-i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan di-shahih-kan oleh Imam Muslim). Madzhab ini juga berdalil dengan dalil logika, yakni jika kita wajibkan makmum tetap membaca Al-Fatihah, padahal ia – di saat yang sama – juga wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam, maka kapankah ia bisa membaca Al-Fatihah itu? Sementara itu tidak ada kewajiban bagi imam agar berdiam sejenak untuk memberikan kesempatan makmum membaca. Maka kesimpulannya adalah: tidak ada kesempatan bagi makmum untuk membaca Al-Fatihah, sehingga tidak ada alternatif baginya kecuali cukup diam dan mendengarkan saja. Adapun pendapat kedua yang mewajibkan makmum tetap membaca Al-Fatihah setelah imam, maka pada prinsipnya sama dengan pendapat madzhab pertama bahwa, secara umum makmum wajib mengikuti imam dan mendengarkan bacaannya – ketika membaca keras – dengan tenang dan diam. Sehingga dalil-dalilnyapun dalam hal ini juga sama dengan dalil-dalil yang disebutkan pendapat pertama. Hanya saja bedanya bahwa, khusus untuk bacaan Al-Fatihah, madzhab kedua ini menerapkan kaidah pengecualian berdasarkan pada dalil yang memang memberikan pengecualian itu. Dan dalil dimaksud adalah hadits sahabat ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan bahwa, seusai shalat shubuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sungguh aku melihat (mengetahui) kalian membaca di belakang imam kalian”. Kamipun mengatakan: Wahai Rasulullah, demi Allah benar demikian. Lalu beliau bersabda: “Janganlah kalian lakukan (pembacaan) itu, kecuali Ummul Qur’an (Al-Fatihah) saja, karena tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah itu” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Dan di dalam lafadz yang lain (dari hadits tersebut) disebutkan: “Janganlah kalian membaca sesuatupun dari Al-Qur’an, jika aku membaca keras, kecuali Ummul Qur’an saja” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa-i dan Ad-Daraquthni yang mengatakan: Seluruh perawinya adalah tsiqah). Dan di dalam riwayat lain lagi disebutkan: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu membaca sesuatupun dari Al-Qur’an, jika aku membaca dengan keras, kecuali Ummul Qur’an (Al-Fatihah) saja” (HR. Ad-Daruquthni, dan beliau berkata: Seluruh perawinya adalah tsiqah). Hadits tersebut diriwayatkan pula, dari jalur lain, oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari di dalam Juz-ul Qiraa-ah dan beliau men-shahih-kannya, juga oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi.(lihat Nailul Authaar I/222-226). Meskipun dua pendapat atau madzhab tersebut hampir seimbang dan hampir sama kuatnya, seperti yang telah kami sebutkan diatas, namun kami lebih cenderung pada pendapat atau madzhab yang kedua atau terakhir itu. Namun kamipun sangat mengakui, mentolerir dan menghormati pendapat madzhab pertama! Wal-Lahu a’lam.
- Tidak ada dalil yang melarang seseorang berwudhu di kamar mandi, selama air yang dipakai bersifat dan berstatus thahuur (suci dan mensucikan). Dan sama saja dalam hal ini, baik dengan menggunakan air yang terpancar dari kran maupun yang berasal dari bak mandi.
- Tidak ada dalil shahih yang melarang seseorang mengelap/mengeringkan air bekas wudhu atau air bekas mandi yang menempel pada muka dan badan, baik dengan handuk maupun yang lainnya. Jadi hal itu boleh. (lihat Fiqhus Sunnah I/37).
- Jika yang ditanyakan adalah tentang keharusan duduk dengan salah satu dari dua cara tersebut, maka tidak ada madzhab yang mengharuskan atau mewajibkan. Tapi yang ada hanyalah perselisihan dan perbedaan pendapat di antara ulama dalam memilih cara duduk yang mana yang lebih afdhal dan lebih sesuai sunnah? Apakah duduk cara iftirasy (seperti duduk di dalam tasyahhud/tahiyat awal) atau duduk cara tawarruk (seperti duduk di dalam tasyahhud/tahiyat akhir)? Imam Ahmad memilih cara pertama, yakni iftirasy, sedangkan Imam Asy-Syafi’i mentarjih cara kedua, yakni tawarruk. Dan kedua pendapat itu hampir seimbang dan sama kuatnya, karena kedua-duanya berdalil dengan dalil yang sama, namun dengan pemahaman yang berbeda. Dalil yang dimaksud adalah hadits sahabat Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan tentang tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: Jika duduk pada dua rakaat (rakaat kedua), beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan/memancangkan kaki kanannya (yakni duduk iftirasy). Adapun jika duduk pada rakaat terakhir, beliau memasukkan kaki kirinya, menegakkan/memancangkan kaki yang satunya, dan duduk di atas pantatnya (yakni duduk tawarruk)” (HR. Al-Bukhari). Tidak ada perselisihan dalam memahami dan menerapkan makna hadits tersebut untuk shalat dengan jumlah rakaat lebih dari dua dan yang memiliki dua kali duduk. Dimana duduk yang pertama (pada rakaat kedua) secara iftirasy, dan duduk yang kedua atau terakhir (rakaat terakhir) secara tawarruk. Namun perselisihan dan perbedaan pendapat terjadi dan tidak terhindarkan dalam memahami dan menerapkan hadits itu untuk shalat dua rakaat dengan sekali duduk. Dan sumber perselisihan adalah karena duduk yang hanya sekali itu, jika dikatakan itu adalah termasuk duduk pada dua rakaat (rakaat kedua) sehingga dilakukan dengan cara iftirasy sesuai dengan bagian pertama hadits, hal itu benar adanya. Namun jika dipahami dan dikatakan bahwa, itu merupakan duduk pada rakaat terakhir, sehingga dilaksanakan dengan cara tawarruk, pemahaman ini juga tidak salah. Nah Imam Ahmad memilih pemahaman pertama, sedangkan Imam Asy-Syafi’i mentarjih pemahaman yang kedua, karena beliau mempunyai kaidah yang mengatakan bahwa, setiap duduk yang langsung diikuti oleh salam dilakukan secara tawarruk. Akhirnya silakan Anda memilih untuk mengikuti pendapat yang mana sesuai kecenderungan yang Anda rasa lebih mantap. Tapi pilihan manapun yang kita ambil, tidak boleh disertai sikap mutlak-mutlakan. Namun kita mengikuti dan melaksanakan pilihan kita, dan di saat yang sama kita wajib tetap mengakui, mentolerir dan menghormati pilihan orang lain. Karena tentu kitapun sangat ingin orang lain juga mengakui, mentolerir dan menghormati pilihan kita. Dan itulah sikap yang senantiasa harus kita tunjukkan dalam setiap masalah khilafiyah ijtihadiyah, yang ini atau yang lainnya.
- Hal itu boleh, baik saat isteri berhalangan maupun tidak. Karena itu termasuk dalam kategori al-istimta’ biz-zaujah (mengambil kenikmatan dari isteri) yang dihalalkan sejak terjadinya akad nikah. Ya. Salah satu buah dan konsekuensi utama dan logis dari setiap pernikahan adalah dihalalkannya saling mengambil dan mendapatkan kenikmatan seksual (istimtaa’ jinsi) antar suami isteri, masing-masing dari pasangannya. Suami mengambil dan mendapatkan kenikmatan seksual dari isterinya, dan isteri mengambil dan mendapatkan kenikmatan seksual dari suaminya. Dan itu dengan segala cara kecuali dengan cara-cara yang memang telah diharamkan seperti bersetubuh saat isteri berhalangan (haid atau nifas) dan melakukan anal seks. Apalagi ada hadits dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (dalam rangka menjelaskan apa yang boleh dilakukan suami saat isteri berhalangan): “…dan lakukanlah apa saja kecuali bersetubuh” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
- Kami tidak menemukan dalil khusus tentang masalah oral seks ini. Tapi berikut ini kami sebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dijadikan pertimbangan. Pertama: Secara pandangan dan kaidah umum, praktik oral seks di dalam hubungan intim antar suami dan isteri adalah cara yang tidak lazim, tidak pantas dan cenderung “menjijikkan”. Karena mempertemukan mulut dan lidah dengan alat kemaluan adalah hal yang sangat kontras sekali. Kedua: Alat kelamin khususnya dalam kedaan terangsang sangat berpotensi mengeluarkan cairan yang najis terutama madzi. Dan hal itu sangat sulit untuk diantisipasi, sehingga oral seks dengan demikian sangat memungkinkan masuknya cairan najis tersebut ke dalam mulut, dan itu terlarang. Ketiga: Kami pernah mendapatkan informasi bahwa, praktik oral seks adalah tidak sehat dalam pertimbangan medis. Sebabnya adalah karena alat kelamin (khususnya wanita) mengandung kuman tertentu dimana bibir dan mulut sangat sensitif terhadap jenis kuman tersebut. Maka dengan demikian, praktik oral seks bisa membahayakan kesehatan. Keempat: Umumnya suami isteri yang mempraktekkan oral seks adalah karena meniru dan terpengaruh oleh film-film biru yang telah menjadi virus ganas yang menghancurkan sendi-sendi moralitas masyarakat. Nah jika memperhatikan hal-hal yang diatas tadi, maka hukum oral seks bisa cenderung terlarang, baik sampai haram atau minimal makruh!
Demikian jawaban yang bisa kami berikan, semoga dipahami dan bermanfaat. Wal-Lahu a’lam, wa Huwal-Muwaffiq wal-Haadii ilaa sawaa-issabiil.
berhubungan dengan mengambil air wudlu di kamar mandi boleh sesuai dengan perkataan diatas makan, bagaimana dengan larangan mengucapkan asma allah di dalam kamar mandi, padahal jika hendak berwudlu kita mengucapkan basmalah…. mohon jawabannya. terimaksih
Silakan bergabung ke Facebook grup berikut utk mengikuti update kajian Ustadz Mudzaffar. In syaa Allah pertanyaan-pertanyaan bisa disampaikan juga di kolom chat
https://www.facebook.com/groups/KajianUstadzMudzoffar/?ref=share