TANYA:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang kami hormati, mohon penjelasan tentang wacana atau fatwa yang sempat muncul beberapa waktu lalu tentang haramnya facebook. Terima kasih sebelumnya.
Abdul Hamid
JAWAB:
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Terima kasih atas saran dan usulannya untuk membuka group di facebook, insyaa-allah bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan.
Adapun tentang sikap dan tanggapan kami seputar wacana haramnya facebook yang sempat ramai beberapa waktu lalu, bisa kami simpulkan dalam beberapa poin berikut:
1. Facebook yang merupakan nama sebuah situs jejaring sosial yang sedang booming akhir-akhir ini adalah salah satu sarana dan fasilitas yang tersedia bagi para pengguna jasa internet. Sementara itu hukum dasar dan asal dari setiap sarana dan fasilitas di dalam hidup ini, baik dalam dunia internet, maupun yang lainnya, adalah mubah dan boleh. Hal itu sesuai dengan kaidah syariah yang berbunyi : “Al-ashlu fil-asy-yaa-i al-ibahah” (Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh). Namun setelah itu hukum sebuah sarana dan fasilitas bisa berubah tergantung isi dan penggunaannya. Jika diisi dan digunakan untuk hal-hal yang sia-sia, negatif, buruk dan madharat, maka hukumnya bisa berubah menjadi makruh atau bahkan haram. Tapi jika digunakan dan diisi dengan hal-hal yang mubah, atau yang baik, posotif dan bermanfaat, maka hukumnya bisa tetap mubah, atau meningkat menjadi mandub (sunnah) bahkan juga bisa menjadi wajib. Hal itu berdasarkan kaidah yang berbunyi: “Al-wasaa-il laha hukmul-maqashid” (hukum sarana mengikuti hukum tujuan penggunaannya). Dan kaidah ini secara umum tentu juga berlaku untuk facebook dan situs-situs atau fasilitas-fasilitas semacam lainnya di internet.
2. Oleh karena itu, tidak tepat jika ada fatwa haram yang ditujukan kepada facebook dan semacaamnya secara umum dan mutlak dalam kapasitasnya sebagai sebuah sarana dan fasilitas. Sebagaimana tidak tepat jika ada fatwa haram general yang ditujukan kepada sarana apa saja di dalam kehidupan ini, dalam kapasitasnya sebagai sekadar sarana. Seperti misalnya: pesawat televisi haram, internet haram, pisau atau setiap benda tajam haram, senjata api haram, dan seterusnya. Namun fatwa haram atas sebuah sarana itu baru bisa dijatuhkan setelah dikaitkan dengan tujuan penggunaannya yang memang haram.
3. Nah oleh karena itu, meskipun belum membaca teks lengkap fatwa haram facebook yang keluar dari kajian para kyai pondok pesantren di Jatim tempo hari itu, namun kami ber-husnudzan dan bahkan yakin bahwa, tidak mungkin fatwa haram tersebut tertuju kepada facebook secara umum, general dan mutlak sebagai sebuah sarana dan fasilitas internet. Namun pastilah fatwa haram itu tertuju kepada kontent dan penggunaan facebook untuk tujuan-tujuan yang haram, misalnya untuk tujuan pacaran, penyebaran pornografi, gosip ghibah, namimah, dan tujuan-tujuan haram yang lainnya.
4. Namun meskipun begitu, kami tetap kurang setuju dengan pengeluaran fatwa-fatwa haram seperti itu seputar hal-hal dan fenomena-fenomena yang sudah terlanjur salah kaprah di tengah-tengah masyarakat saat ini. Lebih-lebih jika fatwa-fatwa semacam itu dipublikasikan secara umum. Karena faktanya biasanya, madharat yang terjadi lebih besar daripada manfaat yang diharapkan. Dan hal itu minimal disebabkan oleh 4 faktor penting berikut ini:
a. Lemahnya kredibilitas, peran dan positioning ulama di mata umumnya masyarakat selama ini, yang membuat fatwa-fatwa mereka, khususnya dalam hal-hal yang sudah kadhung salah kaprah, lebih sering tidak didengar atau tidak dipedulikan, bahkan dibantah oleh siapa saja, sengaja ditentang, sampai dilecehkan. Tentu masih segar memori kita bagaimana reaksi pelecehan dan penyikapan perendahan berbagai kalangan ummat dan masyarakat terhadap lembaga semulia MUI terkait dengan fatwa haram golput yang dikeluarkannya pra pileg yang lalu!
b. Lemahnya komitmen syar’i umumnya masyarakat muslim, yang berakibat pada lemahnya kesiapan mereka untuk mendengar, mengikuti dan menerapkan fatwa-fatwa syar’i para ulama dan kyai. Nah dalam kondisi dan realita seperti ini ditambah lemahnya kredibilitas ulama diatas, penggunaan bahasa fatwa menjadi tidak atau kurang tepat. Namun yang lebih relevan dan lebih efektif adalah penggunaan bahasa taujih, nasehat, arahan, himbauan, seruan dan semacamnya.
c. Lemahnya keberpihakan – jika tidak ingin dikatakan adanya sikap phobia – media massa umum, terhadap issue-issue keislaman dan kepentingan-kepentingan ummat, yang berakibat banyaknya issue-issue keislaman yang lalu dipelintir, dipelesetkan, dikontroversikan, dan semacaamnya.
d. Lemahnya – untuk tidak mengatakan tiadanya – kontrol politik dari pemerintah dan kontrol sosial dari masyarakat, untuk mengawal sosialisasi dan penerapan fatwa ulama. Sehingga yang terjadi seringan fatwa-fatwa ulama atau lembaga fatwa seperti MUI dan lain-lain, justru menjadi bulan-bulanan secara liar tanpa kaidah dan etika khususnya di media massa sebagai bahan gunjingan, perdebatan pro-kontra, pelesetan, pelecehan, dan lain-lain.
Demikian jawaban dan tanggapan dari kami, semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wa Huwal Haadii ilaa sawaa-issabiil.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang kami hormati, mohon penjelasannya tentang pembajakan lagu- lagu di internet dan di download secara gratis. Dosakah yang mendownload lagu – lagu di internet secara gratis, sedangkan penyanyi nya berusaha mencari uang dengan suaranya.