Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,
Pak Ustadz yang saya sangat hormati, perkenenkan saya bertanya,
Saya mau bertanya mengenai penjelasan ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat yang saya mau tanyakan adalah :
Al-An-am :
(125) Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
(149) Katakanlah, ”Allah mempunyai hujah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.”
Ibrahim :
(4) Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan denga bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kapada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Al-Qashsash :
(56) Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
Sumber : http://quran. Al-Islam. Com/Targama/dispTargam. Asp?
NType=1&nSeg=0&1=ind&nSora=1&nAya=1&t=ind
(mohon diingatkan/di check seandainya web ini palsu dan bertujuan menyesatkan)
Pertanyan saya adalah :
1. Apakah orang-orang yang saat ini atau umat-umat yang telah lalu, yang wafat dalam keadaan kafir itu memang telah disesatkan oleh Allah?? Atau karena nafsunya mereka sendiri?
Kalaupun manusia telah diberi akal untuk berpikir mana yang benar mana yang salah, tetapi apalah daya manusia sebagai makhluk yang lemah, bila dibanding dengan Allah yang Maha berkehendak?_saya terus terang sangat bingung (krn sangat terbatasnya ilmu agama saya) dengan hal ini
Saya mengambil contoh kasus Paman baginda Rasul Muhammad SAW, walaupun dia dah mati2-an belain Nabi dr kaum quraish dan merawat nabi sejak kecil, tapi dia wafat dalam keadaan belum muslim. Dan ketika dia wafat dan Nabi memohonkan ampun ke Allah, Allah mengirim jibril dan mengatakan melalui jibril (ini barusan saya dengar dari pengajian OnLine radio KMII Japan), “Tugasmu Muhammad hanya menyampaikan, sedangkan masalah Hidayah adalah urusan-KU.”
Note : Sampai saat ini saya menganggap, semua yang terjadi (baik dan buruk) adalah karena kehendak Allah, walaupun di Al Qur’an juga ada ayat yang menerangkan bahwa “hanya kaum itu sendiri yang bisa merubah nasibnya”, namun saya berpendapat bahwa dipoint-point tertentu itu hanya Allah yang bisa menentukan (hak prerogative Allah), di point2 yang lain, bila manusia bersungguh-sungguh merubahnya, insya Allah akan berkenen.
2. Bagaimana dengan keadaan orang yang sejak lahir sampai dewasa, dia belum mengenal dan atau dikenalkan denga Islam/Allah, sampai mereka jadi kafir dengan tidak percaya Allah, apakah mereka akan disiksa di akhirat ntr karena ke tidak-tahuan mereka (saat ini beragama) mereka tidak tahu siapa/apa Tuhan itu.
Mohon dijelaskan pak Ustadz, dan diingatkan kalau saya telah salah mengambil kesimpulan karena terbatasnya saya sebagai manusia.
Terima kasih,
Wasalam.
Nurmansyah
Jawab :
Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:
Al-Qur’an seluruhnya adalah benar, tidak ada sedikitpun keraguan tentang hal itu, tidak ada perselisihan, pertentangan dan kontradiksi dalam isi dan kandungannya. Satu sama lain di antara ayat-ayatnya saling menguatkan, saling menegaskan dan saling menjelaskan. Dan hal itu karena ia adalah kalamullah (firman Allah) yang pasti benar dengan kebenaran yang mutlak. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 1-2). Dan Allah juga berfirman (yang artinya): “Maka apakah mereka tidak memperhatikan (merenungkan) Al Quran? kalau sekiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisaa’ [4]: 82).
Namun itu dengan syarat bahwa, kita harus memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar dan proporsional. Benar artinya sesuai dengan metodologi standar penafsiran Al-Qur’an menurut para ulama tafsir mu’tabar (yang diakui) di kalangan ahlus-sunnah wal-jama’ah.
Dan proporsional berarti tepat penempatannya sesuai dengan konteks, waktu, tempat, kondisi, situasi, sasaran, kebutuhan dan semacamnya. Jadi tidak cukup seseorang memahami suatu ayat atau beberapa ayat dengan pemahaman dan penafsiran yang benar saja, tapi juga harus tepat dan proporsional dalam penempatannya. Karena pemahaman dan penafsiran yang benar bisa berubah menjadi salah karena salah penempatan sehingga tidak sesuai dengan konteks, situasi, kondisi, orang atau lainnya.
Seperti misalnya ayat-ayat dan juga hadits-hadits tentang kewajiban bersyukur yang lebih cocok untuk orang-orang yang sedang mendapatkan kenikmatan kesenangan, kelapangan dan kemudahan. Sedangkan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sabar dan tawakkal lebih tepat untuk orang-orang yang sedang mendapatkan ujian kesusahan, kesempitan dan kesulitan dalam hidup. Dan bisa tidak cocok serta tidak tepat seandainya hal itu dibalik.
Sebagaimana pula dalam masalah taqdir misalnya, dimana ulama ahlussunnah waljama’ah sepakat semuanya bahwa, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, sekecil apapun, baik dan buruk, iman dan kufur, taat dan maksiat, dan lain-lain, semuanya adalah karena taqdir Allah. Namun toh para ulama bersepakat bahwa, ayat-ayat dan juga hadits-hadits seputar taqdir boleh dan harus dijadikan hujjah ketika menghadapi musibah, ujian dan cobaan, tapi tidak boleh dijadikan dalil sandaran dalam konteks kemaksiatan dan kejahatan. Karena jika pada kondisi pertama, pengungkapan masalah taqdir dan penyebutan dalil-dalinya bersifat positif dan berbuah manis, maka pada kondisi yang kedua sebaliknya, justru bersifat negatif dan berbuah pahit, karena dalil-dalil itu bisa menjadi pembenaran kemaksiatan dan kejahatan.
Nah begitu pula dalam memahami ayat-ayat yang Anda kutip di atas, maka penempatannya haruslah benar dan tepat disamping penafsirannya. Yakni, dalam konteks apa ayat-ayat itu dan semacamnya harus kita pahami dan terapkan? Ayat-ayat di atas dan yang semakna berbicara tentang sifat qudrah (kemahakuasaan), iradah (kemauan) dan masyi-ah (kehendak) Allah Ta’ala yang bersifat mutlak, menyeluruh dan tanpa batas. Dimana – berdasarkan aqidah Islam – segala sesuatu di alam ini tidak mungkin bisa terjadi kecuali jika diketahui, dikehendaki, dicatat, dan dibuat benar-benar terjadi oleh Allah Ta’ala. Dan itulah cakupan makna taqdir Allah dalam konsep aqidah Islam yang wajib kita imani.
Maka konteks ayat-ayat tersebut dan yang semakna dengannya adalah dalam rangka penetapan, penguatan, pengokohan dan pemantaban aqidah dan keimanan tentang sifat-sifat Allah tersebut. Dan itulah yang disebut dengan taqdir kauni ( ketentuan taqdir Allah terhadap segala yang terjadi di alam ini). Dan disamping itu ada yang disebut dengan taqdir syar’i, yakni ketentuan hukum Allah berupa syariat yang dibawa oleh para nabi dan rasul ‘alaihimus-salaam dan yang wajib dijalankan oleh manusia. Dimana atas dasar kaidah-kaidah taqdir syar’i inilah terdapat perhitungan iman dan kufur, taat dan maksiat, pahala dan dosa, peng-hisab-an amal di akhirat, pembedaan balasan dengan surga dan neraka, dan lain-lain. Juga atas dasar ini pulalah Allah mengaruniakan akal kepada manusia, juga kemampuan dan potensi yang dengannya ia bisa berkehendak, memilih, berusaha dan beramal sesuai kehendak dan pilihannya dalam hidup ini.
Jadi kewajiban kita adalah memahami dan menyikapi kedua taqdir kauni dan syar’i tersebut secara benar dan proporsional, serta tidak membenturkan atau mempertentangkan antara keduanya. Karena antara keduanya memang tidak mungkin terjadi pertentangan dan perbenturan. Sebab keduanya dari Allah Ta’ala Yang Maha Esa. Dan pemahaman serta penyikapan benar dan proporsional yang kita maksudkan adalah dengan membatasi diri dalam penyikapan sesuai dengan porsi, proporsi dan wilayah kewajiban kita terkait dengan masing-masing taqdir tersebut. Dimana wilayah kewajiban kita tentang taqdir kauni adalah mengimaninya sepenuhnya apa adanya disertai kesadaran penuh akan keterbatasan diri yang karenanya tidak akan mampu menjangkau bagian terbesar dan terluas dari masalah ini. Sehingga dengan demikian sejak awal kita harus siap membatasi diri dan tidak banyak bertanya tentangnya. Melainkan menyerahkan apa-apa yang tidak mampu kita pahami dan jangkau dari masalah ini kepada Allah Ta’ala, karena memang masalah ini termasuk urusan Allah Ta’ala. Seperti masalah ruh yang Allah firmankan (artinya): “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit saja” (QS. Al-Israa’ [17]: 85). Sementara itu banyak bertanya dan apalagi mempertanyakan masalah-masalah yang menjadi urusan Allah seperti bab taqdir, ruh dan lain-lain, adalah sama saja seakan-akan kita “mengadili” Allah dan meminta pertanggungan jawab-Nya tentang apa-apa yang ditaqdirkan-Nya, ditetapkan-Nya dan diperbuat-Nya. Padahal Allah telah berfirman (yang artinya): “Dia tidak ditanya atau dimintai pertanggungan jawab tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah (manusia) yang justru akan ditanyai atau dimintai pertanggungan jawab (tentang perbuatan-perbuatannya)” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 23).
Jadi jangan banyak tanya misalnya, mengapa Abu Thalib tidak ditaqdirkan beriman, mengapa ditaqdirkan ada orang-orang kafir, atau ada orang-orang jahat, atau ada orang-orang maksiat, bahkan mengapa ditaqdirkan ada iblis, syetan, dan seterusnya? Jika tidak mampu memahami dan menjangkau hikmah tentang taqdir-taqdir itu semua, maka serahkan saja kepada Allah, karena itu semua memang urusan-Nya, dan yakinkan diri seyakin-yakinya bahwa, pasti ada alasan dan hikmah yang sempurna di balik setiap taqdir Allah, termasuk yang paling tidak kita pahami dan mengerti sekalipun!
Adapun urusan dan wilayah kewajiban dan kewenangan utama kita, selain mengimani taqdir kauni tersebut, adalah bagaimana mengotimalkan upaya, usaha dan mujahadah dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Allah yang termuat dalam taqdir syar’i yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan sunnahnya. Dan saat berupaya dan ber-mujahadah dalam menggapai keimanan dan meningkatkan ketaqwaan, janganlah kita memberikan celah kesempatan bagi syetan untuk membisikkan ke telinga dan hati kita syubhat begini misalnya:apalah arti upaya dan mujahadah kita yang sangat terbatas dan penuh dengan ketidak berdayaan ini, jika memang iradah, masyi-ah dan qudrah Allah yang mutlak telah mentaqdirkan kekufuran atau kesesatan bagi diri kita? Pertanyaan seperti yang barusan ini salah satu contoh sikap yang tidak tepat dan tidak proporsional bahkan salah dan menyimpang tentang keimanan pada taqdir. Dan sikap seperti itulah yang kami maksudkan dengan membenturkan dan mempertentangkan antara taqdir kauni dan taqdir syar’i, atau antara usaha dan ikhtian manusia dengan taqdir dan kehendak Allah Ta’ala.
Adapun tentang orang yang sejak lahir sampai meninggal tidak pernah mengenal atau dikenalkan dengan agama Islam, maka kondisi dan hukumnya bisa berbeda-beda. Jika secara logika dan realita memang benar-benar tidak ada baginya sedikitpun celah dan jalan untuk bisa mengenal Islam selama hidupnya, maka ia bisa dimasukkan dalam kelompok yang dikenal dengan sebutan ahlul-fatrah, yakni generasi manusia yang hidup pada masa transisi atau masa kevacuman kerasulan antara syariat rasul sebelumnya yang sudah punah dan syariat rasul berikutnya yang masih belum datang. Dimana kekafiran mereka dimaafkan dan mereka tidak disiksa karenanya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang beramal sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang berlaku sesat, maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng’azab (siapapun) sebelum kami mengutus seorang rasul (kepada mereka)” (QS. Al-Israa’ [17]: 15).
Adapun jika peluang, kesempatan atau jalan mengenal Islam itu tetap ada dan terbuka bagi seseorang, lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak optimal dalam upayanya dalam mencari kebenaran dan mengenal Islam, maka kekafiran orang yang seperti ini kondisinya tidak dimaafkan, dan berarti tetap berlaku atasnya hukum orang-orang kafir pada umumnya.
Demikian jawaban yang bisa kami berikan, semoga dipahami dengan baik dan bermanfaat.
Wallahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-is-sabiil.