Adakah “Tenaga Dalam” di dalam Islam?

Ass Wr. Wb.

Saya ingin konsultasi tentang permasalahan sebagai berikut :

1. Terdapat seni beladiri, senam, meditasi yang menggunakan tenaga dalam, kekuatan tersebut dari Allah    SWT atau dari jin.

2. Terdapat  pelatihan senam pembukaan chakra (meditasi), sebagai ilustrasi saya copykan email yang pernah saya terima sbb (dengan beberapa penyesuaian): ……

”Bagi teman-teman yg ingin dibuka chakra-nya jarak jauh, agar segera memberikan khabar jika CD pembuka chakra sudah sampai, sehingga dapat disepakati / ditentukan waktu untuk proses Pembukaan Chakra……….oleh …

Sedikit informasi kronologi pembukaan :

– Mandi / bersuci

– Waktu tengah malam

– Untuk muslim bagus shalat hajat dan berdoa

– Hubungi … via sms/telepon untuk menyatakan telah siap

– Duduk di bangku & tekan/sentuh ubun-2 dengan telunjuk 30 detik

– Stel CD judul …

– Duduk santai, posisi tegak (tidak bungkuk), kedua telapak tangan diatas,

paha terbuka keatas, mata terpejam ( ikuti arahan dari cd ), sementara itu dari jarak jauh … akan membantu proses pembukaan……

Untuk lebih jelasnya dapat kontak beliau…….

Sedikit cerita : Apa yg dirasakan seseorang berbeda, namun perlu saya informasikan pengalaman saya yang tidak terlalu berbakat soal ini. Biasanya kalau malam saya begadang, pagi harinya lesu, ngantuk seperti masuk angin. Namun setelah mencoba program pembukaan chakra ini, aneh, paginya terasa segar bahkan lebih segar dibandingkan jika saya sudah tidur semalaman sekalipun (?!)

Ilustrasi : coba Anda pejamkan mata, adakah rasa gelisah, galau, kernyit-kernyit dikelopak mata, lintasan cahaya tak beraturan, kerlipan-kerlipan pikiran kacau tak jelas ujung pangkalnya ? Ada baiknya Anda mencoba & rasakan perbedaannya setelah itu. Untuk Saudara muslim, semoga latihan ini dapat menambah khusuk shalat dan zikir kita, dalam rangka semakin mendekatkan diri kita kepada Alllah SWT, amien”.

3. Bagaimana cara membedakan antara kekuatan dari Allah SWT atau dari jin.

4. Bekerja sama dengan jin dalam hal kebaikan seperti untuk pengobatan, mencari barang hilang dsb. apakah diperbolehkan, karena dalam praktek banyak terdapat orang-orang tertentu yang dibantu oleh makhluk lain (prewangan).Bagaimana dengan Nabi Sulaiman yang mendapat bantuan jin untuk

memindahkan istana Ratu Bilqis.

Mohon jawaban disertakan  Quran & riwayat hadistnya

Terima kasih atas bantuannya

Wass Wr. Wb

(16 Mei 2007)

JAWAB:

Alhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa Rasulillah, amma ba’du:

Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas:

1-    Terus terang saja, sampai saat ini kami masih tetap menunggu dan ingin tahu bukti yang bisa dipertanggung jawabkan secara syar’i  (sesuai syariah) dan waqi’i (faktual) tentang adanya apa yang biasa dikenal dengan sebutan tenaga dalam yang benar-benar murni dan bersih dari campur tangan jin. Karena sampai sekarang, berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan pengamatan, kami tidak atau masih belum yakin bahwa, ada tenaga dalam yang murni dan bersih dari campur tangan jin.

Tapi sebelumnya barangkali perlu kami tegaskan dulu bahwa, yang kami maksudkan dan pahami selama ini dari istilah tenaga dalam ialah suatu tenaga atau kekuatan yang luar biasa (di luar atau diatas batas kekuatan normal yang dimiliki manusia, dan yang biasa juga disebut kesaktian), yang diyakini atau dianggap bersumber dari dalam diri seseorang, dan yang didapat melalui pelatihan olah nafas tertentu, atau praktik ritual tertentu, atau dengan memenuhi “syarat” tertentu, atau juga melalui media “transfer” yang dilakukan oleh orang tertentu yang diyakini memilikinya. Dan bentuk tenaga dan kekuatan luar biasa atau kesaktian yang didapat bisa bermacam-macam. Ada yang berupa kekuatan tenaga luar biasa yang dimiliki seseorang sehingga mampu mengangkat beban berat yang tidak mungkin mampu diangkat dengan kekuatan normal manusia. Bahkan ada yang bisa mengangkat beban tersebut dari kejauhan dengan tanpa menyentuhnya.  Ada lagi yang berupa kekuatan pukul jarak jauh. Atau berupa kemampuan dan keahlian istimewa dalam menguasai dan memainkan jurus-jurus bela diri tertentu. Atau berupa kemampuan luar biasa dalam menahan dan mengembalikan serangan lawan juga dari jarak jauh, sehingga lawan bisa terpental atau terlempar dengan sendirinya. Atau berupa kekuatan sorot atau pandangan mata yang bisa  mengalahkan atau merobohkan lawan dari jarak jauh. Atau berupa kekuatan pandangan mata yang bisa “menembus batas”, misalnya dinding atau batas jarak yang sangat jauh atau lainnya. Bahkan ada yang berupa kekuatan “menembus batas tabir gaib”. Atau juga berupa “kemampuan menerawang” dari jarak jauh. Atau kemampuan untuk bisa “melihat” jin. Atau berupa kepekaan khusus yang menimbulkan getar-getar tertentu yang sanggup menagkap atau merasakan keberadaan jin di dalam tubuh atau di suatu tempat. Atau berupa kekuatan daya dengar yang luar biasa, sehingga mampu menangkap dan mendengar suara dari jarak jauh yang tidak mampu ditangkap dan didengar oleh kemampuan normal manusia biasa yang memiliki pendengaran yang paling sehat sekalipun. Atau ada pula yang berupa kekuatan luar biasa yang menghasilkan kekebalan tubuh terhadap benda atau senjata tajam, peluru, api dan semacamnya. Atau berupa kemampuan untuk meramal segala sesuatu, atau untuk mengetahui dan menemukan barang yang hilang misalnya. Atau juga berupa kemampuan luar biasa untuk mendeteksi dan sekaligus menyembuhkan penyakit dengan sentuhan tangan dan lain-lain. Atau berupa kemampuan untuk menangkap wangsit dan bisikan gaib yang memberikan “petunjuk-petunjuk” khusus untuk diikuti dan dilaksanakan, misalnya dalam membuat ramuan-ramuan pengobatan tertentu, dan lain-lain. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Ya. Itulah gambaran umum tentang tenaga dalam yang kita maksudkan dan pahami. Dan umumnya istilah tenaga dalam tersebut terkenal dan terkait dengan dunia bela diri, kanuragan, olah pernafasan, senam-senam tertentu, yoga, meditasi dan lain-lain. Nah untuk tenaga dalam dengan gambaran dan ilustraisi seperti itulah yang sampai saat ini kami masih yakin akan adanya campur tangan dan keterlibatan jin di dalamnya. Dan karenanya kami tetap yakin hal itu tidak syar’i dan tidak dibenarkan. Berikut ini beberapa alasan yang menjadi dasar sikap kami, dan yang perlu menjadi bahan perenungan.

Pertama: Di dalam khazanah keilmuan Islam, hal-hal atau kejadian-kejadian yang di luar kebiasaan normal kehidupan manusia seperti itu dikenal dengan sebutan “khawaariq lil-‘aadah” (hal-hal di luar kebiasaan normal). Dan di dalam pandangan Islam, ada empat jenis “khawaariq lil-‘aadah”, yaitu mukjizat para nabi dan rasul ‘alaihimus-salaam, karamah para wali dan orang-orang saleh, sihir para penyihir atau perdukunan para dukun, dan hasil bantuan atau campur tangan jin, baik yang disadari ataupun yang tidak disadari. Dan hal-hal luar biasa yang diyakini berasal dari tenaga dalam itu jelas bukan mukjizat nabi. Juga tidak memenuhi syarat sebagai karamah para wali atau orang-orang saleh, karena hal-hal tersebut dan semacamnya memang tidak didapat berdasarkan faktor ke-wali-an atau kesalehan. Disamping itu, karamah tidak bias diajarkan, diwariskan, atau ditransfer, juga tidak untuk didemonstrasikan dan semacamnya. Nah jika “khawaariq lil-‘aadah” yang diyakini sebagai hasil tenaga dalam tersebut bukan mukjizat nabi, juga bukan karamah wali, maka aternatif yang ada tinggal dua, yaitu: sihir dan hasil bantuan atau campur tangan jin. Atau sebenarnya hanya tinggal satu saja, yaitu faktor campur tangan jin, karena sihirpun pada hakekatnya juga merupakan hasil campur tangan jin. Hanya saja ada dua bentuk bantuan dan campur tangan jin, yakni ada yang disadari, diketahui dan disengaja, seperti sihir dan perdukunan itu, dan ada yang mungkin tidak disadari, tidak diketahui dan tidak disengaja, seperti dalam kasus-kasus ‘tenaga dalam’ pada tingkat dan level rendah, atau dalam kasus orang-orang dan anak-anak yang dianggap memiliki ‘indera keenam’ atau yang juga dikenal dengan sebutan anak indigo dan semacamnya.

Kedua: Kekuatan tenaga dalam yang diklaim itu adalah kekuatan yang ada di dalam diri setiap manusia, dan cara “mengeluarkannya” pun relatif sederhana dan tidak membutuhkan ilmu yang tinggi, penelitian yang mendalam, dan teknologi modern yang canggih, yakni misalnya hanya melalui tarik dan hembus nafas dengan teknik tertentu yang sangat sederhana. Namun mengapa kekuatan tenaga yang luar biasa seperti itu, dengan cara yang demikian sederhana untuk memperolehnya, kok tidak dikenal di masa generasi salaf dan di kalangan para ulama? Padahal mereka dan ummat Islam sepanjang sejarah tentu sangat membutuhkan kekuatan tenaga super semacam itu dalam peperangan-peperangan jihad mereka yang tidak terhitung. Maka sangat logis jika ada yang mengatakan misalnya: Jika tenaga dalam memang benar-benar ada, maka betapa “teganya” Allah tidak memberikan taufiq kepada para ulama salaf untuk bisa menemukan kekuatan super hebat yang ada dalam diri mereka itu, padahal Allah Maha Tahu bahwa, mereka sangat membutuhkannya?

Ketiga: Mengapa mayoritas atau seluruh penemu apa yang dikenal denga tenaga dalam itu justru dari kalangan kaum musyrikin penyembah berhala misalnya di Tibet, Tiongkok, Jepang, Persia dan lain-lain? Rasanya pertanyaan ini perlu perenungan yang serius dan mendalam dari semua pihak.

Keempat: Umumnya olah tenaga dalam memiliki syarat-syarat atau praktik-praktik ritual khusus, utamanyanya pada level-level tertentu yang tinggi, juga khususnya pada momen-momen kenaikan jenjang dan tingkat, misalnya dengan diajak ke tepi pantai atau sungai, dan semacamnya. Nah khusus terkait dengan pantai dan sungai ini, terdapat syubhat yang sangat kuat dan mencurigakan, karena berdasarkan hadits shahih bahwa, singgasana jin dan syetan itu di air atau di laut (lihat HR. Muslim dan HR. Ahmad). Disamping itu, umumnya gerakan-gerakan (misalnya tangan) dan posisi-posisi (misalnya duduk) di dalam olah tenaga dalam, mengisyaratkan dan menyerupai bentuk dan cara penyembahan dan peribadatan dalam agama-agama di luar Islam. Mungkin ada sebagian peserta atau pengikut atau aktivis olah tenaga dalam yang membantah seraya mengatakan bahwa, olah tenaga dalam yang diikutinya adalah murni karena di dalamnya (sepengetahuannya) tidak ada syarat-syarat dan praktik-praktik ritual yang menyimpang. Tentu merupakan hak setiap orang untuk menyampaikan dan menyatakan demikian. Tapi satu hal yang perlu kami ingatkan bahwa, mayoritas mereka sangat mungkin memang belum tahu, karena baru berada di level-level rendah, dimana “tenaga dalam” yang didapatnya baru melalui “transfer langsung” yang dilakukan sang guru atau sang senior, sehingga syarat-syarat atau praktik-praktik ritual yang harus dipenuhi dan dijalani belum ada atau belum banyak. Atau mungkin juga sebenarnya sudah ada, namun mereka tidak menyadari atau tidak memahaminya. Sebagai contoh misalnya, pernah dalam sebuah forum ruqyah massal di sebuah kota di Jawa Timur, ada seorang peserta dari kalangan bapak-bapak yang membantah akan adanya campur tangan jin di dalam tenaga dalam, dan menegaskan bahwa, olah tenaga dalam yang diikutinya bersih dan murni karena tidak ada syarat atau praktik ritual menyimpang di dalamnya. Namun ketika praktik ruqyah syar’iyah dimulai, peserta tersebutlah justru yang pertama kali bereaksi keras yang membuktikan dirinya positif mengalami kerasukan jin yang diindikasikan sangat kuat  dari pengaruh olah tenaga dalam yang diikutinya!

Kelima: Dari pengalaman ruqyah syar’iyah didapat fakta bahwa, di antara peserta yang bereaksi di dalam setiap forum ruqyah massal misalnya (dan ini terjadi berulang-ulang), hampir selalu ada dari kalangan yang berlatar belakang tenaga dalam, dan dari beragam aliran. Dan ini tentu menjadi salah satu hal yang semakin menguatkan keyakinan atau minimal kecurigaan akan adanya unsur campur tangan jin di dalam olah tenaga dalam.

Keenam: Lalu semua itu masih dikuatkan lagi dengan banyaknya testimoni dan kesaksian dari para mantan pengikut dan aktivis olah tenaga dalam, yang mendukung dan membenarkan keyakinan kami tersebut. Itulah dalil-dalil dan alasan-alasan yang mendasari sikap kami dan menguatkan keyakinan kami tentang fenomena tenaga dalam. Dan ini adalah pendapat, yang bisa diterima dan juga bisa ditolak. Kami menyampaikannya sebagai tadzkirah (bahan pengingat) dan taushiyah (pesan nasehat) yang kami harap bisa direnungkan secara serius dan mendalam. “Aku tidak bermaksud kecuali (untuk mengadakan) perbaikan selama aku masih mampu. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” (lihat QS. Huud 11: 88).

2-    Kami tidak ingin berpanjang kata dalam menjawab pertanyaan kedua ini. Karena secara umum, jawaban atas pertanyaan pertama di atas telah cukup mewakili. Kami hanya ingin menegaskan, justru apa yang termuat dalam kutipan email itulah salah satu contoh yang paling jelas atas apa yang telah kami paparkan dalam jawaban di muka. Dimana dengan syarat-syarat dan praktik-praktik ritual  yang disebutkan dalam contoh proses pembukaan chakra itu (seperti ritual mandi / bersuci, syarat ritual waktu tengah malam, duduk di bangku & tekan/sentuh ubun-2 dengan telunjuk 30 detik, duduk santai, posisi tegak dan tidak bungkuk, kedua telapak tangan di atas paha terbuka keatas, mata terpejam dan lain-lain), kami tidak ragu sedikitpun akan adanya unsur keterlibatan dan campur tangan jin dalam proses seperti itu. Menurut kami, tidak ada penafsiran lain yang bisa dipertanggung jawabkan secara syar’i selain itu! Wal-Lahu a’lam.

3-    Sebenarnya pertanyaan ketiga ini sangat umum. Kekuatan apa yang dimaksud? Tapi karena konteksnya tentang tenaga dalam, maka kami memahami bahwa, yang dimaksud adalah kekuatan khusus yang luar biasa seperti yang biasa diklaim sebagai kekuatan tenaga dalam itu. Ya. Intinya, kekuatan yang dari Allah (maksudnya yang dibenarkan secara syar’i), adalah setiap kekuatan yang didapat dan diperoleh melalui cara, proses dan prosedur yang dibenarkan dan bias dipertanggung jawabkan menurut ketentuan hukum syari’ah berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan sesuai dengan pemahaman baku para ulama salaf. Dan yang selain itu berarti tidak dibenarkan, dan berarti bukan dari Allah.

4-    Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan tolong-menolonglah (bekerja samalah) kamu atas dasar kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong (bekerja sama) atas dasar dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maa-idah 5: 2). Pada prinsipnya, tolong-menolong dan kerja sama dalam kebaikan adalah dibenarkan. Tapi setidaknya ada empat hal yang harus dipenuhi dan diperhatikan agar sebuah kerja sama dinilai baik dan benar. Pertama: Tujuan kerja sama harus baik dan benar, yakni dalam hal-hal kebaikan, kebajikan dan kebenaran. Kedua: Sifat, cara dan prosedur kerja sama juga harus baik dan benar, sehingga tidak mengandung pelanggaran atau penyimpangan. Ketiga: Pihak-pihak yang bekerja sama harus jelas disamping baik, berkompeten, seimbang dan sepadan. Keempat: Tidak ada dampak negatif dan kemadharatan yang berdasarkan ghalabatudz-dzan (dugaan kuat) mungkin timbul dan terjadi karena kerja sama yang dilakukan.

Jadi sebuah kerja sama yang baik dan benar itu tidak hanya ditentukan oleh tujuan dan bidangnya saja, tapi juga oleh hal-hal dan faktor-faktor lain seperti yang telah disebutkan tadi. Sehingga meskipun tujuan dan bidang suatu kerja sama telah dijamin baik dan benar, tapi tidak ada jaminan untuk terpenuhinya faktor-faktor penentu yang lainnya, maka kerja sama itupun tidak bisa dibenarkan. Nah, disinilah terletak masalah dalam hal kerja sama manusia dengan jin yang ditanyakan hukumnya itu. Dimana seseorang hanya bisa menjamin terpenuhinya faktor pertama saja di antara empat faktor yang telah disebutkan diatas, yakni faktor tujuan dan bidang kerja sama. Tapi untuk tiga faktor yang lainnya, tidak ada yang bisa menjamin secara pasti. Misalnya melalui media, sarana, cara, jalan, dan prosedur apa seorang anak manusia bisa menjalin ikatan kerja sama dengan seorang anak jin secara aman dan benar? Padahal untuk sekadar membangun hubungan komunikasi saja sudah penuh masalah, penuh spekulasi dan penuh resiko tinggi. Karena memang tidak ada contoh dan tuntunan yang bisa diikuti dalam hal ini, baik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, maupun dari para sahabat dan ulama salaf yang menjadi teladan dan panutan kita semua! Yang ada hanyalah “tuntunan” dari pihak-pihak tertentu lain yang tidak bisa dipertanggung jawabkan!!

Lalu jikapun dimungkinkan terjadi dan dilakukan, maka kerja sama yang diadakan manusia dengan jin adalah kerja sama dengan pihak yang tidak sepadan, tidak seimbang dan tidak jelas. Karena jin berada di alam ghaib yang bisa dengan leluasa melihat manusia, sedangkan manusia tidak bisa melihat jin (lihat QS. Al-A’raaf 7: 27). Sehingga dengan demikian seseorang tidak bisa mengetahui dengan siapa sebenarnya ia bekerja sama? Dan kerja sama “buta” seperti itu tentu tidak dibenarkan, meskipun tujuan dan bidangnya benar dan baik.

Lalu belum lagi masih ditambah dengan adanya potensi resiko buruk, akibat negatif dan kemadharatan tidak terprediksi yang bisa mengenai yang bersangkutan atau anggota keluarganya sebagaimana yang sering terjadi. Dalil-dalil dan pengalaman-pengalamanpun menegaskan dan menguatkan hal itu. Di dalam QS. Al-An’aam ayat 128 diisyaratkan bahwa, pola hubungan kerja sama yang terjalin antara sebagian manusia dan jin dibangun di atas prinsip hubungan timbal balik dan saling memanfaatkan. Dimana jika manusia meminta bantuan dan mengambil manfaat dari jin, maka jinpun membalas dengan (atau bahkan mungkin sudah lebih dulu) mengambil manfaat dari manusia tersebut. Nah manfaat yang diambil jin dari manusia inilah yang tidak bisa diprediksi, tapi indikasinya lebih bersifat buruk dan negatif. Dan banyak pengalaman di masyarakat yang menguatkan hal itu, meskipun tidak banyak yang mengetahui dan menyadarinya, termasuk yang mengalaminya sekalipun.

Dan di antara dalil yang menguatkan larangan bekerja sama, meminta bantuan dan pertolongan kepada jin, adalah firman Allah (yang artinya): “Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan dan penjagaan dari beberapa laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesengsaraan” (QS. Al-Jinn 72: 6). Dan contoh-contoh dari realita kehidupan membuktikan bahwa, kemadharatan dan kesengsaraan yang dialami seseorang atau juga sebagian keluarganya (biasanya isteri atau khususnya anak dan cucunya) akibat hubungan dan keterkaitannya dengan alam jin serta kerja samanya dengan mereka, sangatlah besar, banyak dan beragam. Dan umumnya dalam bentuk bermacam-macam gangguan dan campur tangan jin-jin itu dalam diri dan kehidupan mereka, misalnya dengan cara dirasuki dan lain-lain.

Dan dari pengalaman ruqyah syar’iyah diketahui bahwa, jenis gangguan kerasukan jin yang diakibatkan oleh adanya ikatan hubungan dengan alam jin yang pernah dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga (khususnya ayah, ibu, kakek, nenek atau lainnya), adalah termasuk jenis gangguan jin yang sangat sulit dilepaskan dan disembuhkan. Maka kami sarankan, janganlah pernah coba-coba mendekati wilayah yang satu ini, jika tidak ingin terserimpung dalam lingkaran masalah yang sangat sulit untuk dilepaskan, dimana anak, cucu dan anggota keluarga yang lainnya yang tidak berdosa bisa ikut menjadi korban dan mengalami penderitaan perkepanjangan yang terkadang seakan tidak berujung. Dan contoh-contoh untuk itu, baik yang kami dengar maupun yang kami saksikan dan hadapi langsung – selama pengalaman ruqyah syar’iyah – sangat banyak sekali.

Lalu hal lain yang bisa menjadi dalil dan dasar tidak dibenarkannya bekerja sama dan meminta bantuan jasa jin, termasuk dalam hal-hal yang mubah dan baik sekalipun, adalah fakta sirah dan sejarah. Ya. Fakta sirah dan sejarah Islam menegaskan bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan para ulama salaf rahimahumullah, tidak dikenal pernah bekerja sama, meminta bantuan atau memanfaatkan jasa jin di dalam urusan-urusan yang terkait dengan kepentingan alam manusia. Padahal tuntutan kebutuhan akan hal itu, andai saja dimungkinkan dan dibenarkan, sangatlah besar. Sebut saja misalnya untuk kepentingan pembelaan dan dukungan dalam rangka jihad fi sabilillah, di mana peperangan demi peperangan melawan musuh-musuh Allah selalu mewarnai perjalanan dan dinamika dakwah Islam sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan seterusnya. Betapa besar kebutuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, generasi salaf rahimahumullah, dan ummat Islam sepanjang sejarah, kepada jasa dan bantuan kemampuan jin  di dalam peperangan-peperangan itu, dan juga di dalam kepentingan-kepentingan lainnya yang sangat banyak. Dan andai saja bisa dan boleh, tentu saja jasa dan bantuan yang diberikan oleh pasukan jin di dalam peperangan misalnya bisa sangat istimewa sekali. Karena mereka kan tidak tampak, sehingga bisa dengan leluasa mengganggu, menyerang dan bahkan mengalahkan para pasukan musuh dengan cara-cara yang sederhana saja, misalnya dengan menjewer telinga mereka, meng-ilikitik mereka, merasuki mereka agar kesurupan semua, membuat mereka saling serang di antara mereka sendiri, dan cara-cara sederhana lainnya lagi. Tapi ternyata semua itu, yakni bekerja sama dan memanfaatkan jasa mereka, tidak terjadi dan tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para generasi terbaik yang merupakan teladan dan panutan kita itu.

Kemudian hal terakhir yang ingin kami sampaikan dalam konteks ini adalah bahwa, sikap berhubungan dan bekerja sama dengan jin dan meminta bantuan serta memanfaatkan jasa mereka di dalam keperluan-keperluan manusia, adalah bertentangan dengan prinsip dasar yang ditetapkan Islam dalam menyikapi alam jin, yaitu sikap menghindar dan berlindung kepada Allah dari mereka. Jika ada yang mengatakan, ”Mengapa sikap dasar kita menghindar dan berlindung diri dari mereka? Bukankah di antara mereka ada yang beriman dan taat?” Maka jawabannya adalah sebagai berikut.

Pertama, kemampuan kita untuk menjangkau mereka sangatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa membedakan antara yang mukmin dan yang kafir, atau yang taat dan yang durhaka diantara mereka, melainkan melalui pengakuan dan perkataan mereka.

Kedua, sedangkan kita tidak bisa dan tidak boleh percaya begitu saja kepada pengakuan mereka, bahwa mereka beriman dan taat misalnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa, mereka adalah makhluk pendusta (HR Bukhari yang mengisahkan tentang jin yang datang untuk mencuri harta zakat dan shadaqah yang ditunggui oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Ketiga, alam jin yang diperkenalkan kepada kita oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits lebih didominasi oleh pensifatan mereka sebagai syetan. Atau banyak sekali ayat dan hadits yang seakan tidak membedakan antara jin dan syetan. Dimana seringkali kata syetan digunakan dengan makna jin, dan begitu pula sebaliknya, kata jin dipakai untuk arti syetan. Nah kenyataan itu tentu harus membuat kita bersikap lebih waspada dan berhati-hati.

Keempat, dalam realitas sejarah, dan di dalam pengalaman kehidupan kita selama ini, diketahui bahwa, jin-jin yang tampil dan hadir dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan para nabi dan rasul ‘alaihimus-salam kebanyakannya adalah jin-jin yang kafir dan durhaka, yang datang untuk hal-hal yang negatif, mengganggu dan merugikan, namun seringkali tidak disadari oleh kebanyakan manusia. Hal ini dikuatkan oleh penegasan Al-Qur’an ( lihat QS. Al-Ahqaaf [46] : 29 – 32) bahwa, jin-jin yang saleh yang mungkin sewaktu-waktu hadir dengan sendirinya dalam majelis-majelis ilmu, dzikir dan tilawah yang diadakan oleh manusia mukmin, untuk tujuan belajar, dan dengan tanpa diketahui oleh manusia, begitu majelis ilmu dan dzikir yang mereka hadiri itu usai, maka merekapun akan segera kembali kepada kaumnya untuk menyampaikan apa yang telah mereka dapatkan, dan tidak malah tetap tinggal bersama manusia tersebut. Maka marilah kita senantiasa berdo’a: “Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan syetan-syetan, dan aku berlindung kepada-Mu, ya Rabbi, dari kedatangan mereka kepadaku”. (QS Al-Mukminun [23] : 97 – 98).

Adapun apa yang terjadi dan dilakukan oleh Nabi Sulaiman ’alaihis-salaam dalam hubungan beliau dengan alam jin, maka itu adalah keistimewaan dan kekuasaan khusus yang Allah berikan hanya kepada beliau saja, dan tidak diberikan kepada seorang pun selain beliau termasuk nabi lain. Dan kekuasaan istimewa khusus itu bukan hanya sekadar boleh atau bisa meminta bantuan atau memanfaatkan jasa jin, tapi bahkan berupa tunduknya jin-jin semuanya di bawah kekuasaan dan perintah beliau, tanpa ada di antara mereka yang mampu membantah dan membangkang jika tidak ingin dihukum dengan dibelenggu dan dirantai. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”…Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaan Nabi Sulaiman ’alaihis-salaam) dengan izin Tuhan-nya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami buat ia merasakan adzab neraka yang apinya menyala-nyala. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya berupa gedung-gedung yang tinggi, patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku)…” (QS. Saba’ [34]: 12-13). Dan kekuasaan istimewa khusus itu (kemampuan menguasai jin dan lain-lain) adalah bentuk dan bukti pengkabulan Allah atas doa istimewa khusus yang beliau panjatkan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Ia (Sulaiman) berdoa: ”Ya Tuhan-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan) yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Pemberi”. Maka Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut kemana saja yang dikendakinya. Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syetan-syetan (jin-jin) semuanya ahli bangunan dan penyelam. Dan syetan-syetan (jin-jin) yang lain (yang membangkang) terikat dalam belenggu-belenggu” (QS. Shaad [38]: 35-38).

Disamping itu perlu dikoreksi bahwa, yang membantu Nabi Sulaiman ’alaihis-salaam dalam memindahkan singgasana Ratu Balqis bukanlah dari golongan jin. Beliau baru menerima tawaran saja dari kalangan mereka, tetapi yang benar-benar melaksanakan pemindahan itu dalam sekejap mata adalah ”yang memiliki ilmu dari Al-Kitab” yang diperselisihkan diantara para ulama tentang siapakah gerang dia sebenarnya? Dan kami lebih cenderung pada pendapat bahwa, yang dimaksud dengan ”yang memiliki ilmu dari Al-Kitab” itu adalah Malaikat Jibril ’alaihis-salaam atau Nabi Sulaiman ’alaihis-salam sendiri. (lihat QS. An-Naml [27]: 38-40). Nah dengan demikian, maka kisah Nabi Sulaiman ’alaihis-salaam tidak bisa dan tidak boleh dijadikan dasar pegangan bagi siapapun yang mengaku-ngaku bisa menundukkan jin tanpa kompensasi!

Demikianlah jawaban yang bisa kami berikan, semoga bisa dipahami dan bermanfaat. Wal-Lahu a’lam, wa Huwal-Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal-Haadii ilaa sawaa-issabiil.

Tinggalkan komentar

Filed under Konsultasi

Berbagi Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s