MUKADIMAH
Iman kepada yang ghaib merupakan pilar dan prinsip utama aqidah Islam (QS Al-Baqarah : 3), yang semestinya menempati prioritas pertama dan utama dalam bangunan pemikiran Ummat dan manhaj ( sistem dan pola baku ) para juru dakwah. Namun dalam kenyataannya, permasalahan alam ghaib ini sangat kurang mendapatkan perhatian dan sangat jarang diangkat ke permukaan. Kalaupun diangkat, hal itu seringkali dilakukan dengan cara yang salah dan menyimpang. Terminologi ghaib selama ini bahkan telah dipersempit cakupan pengertiannya, sehingga dibatasi hanya pada masalah jin semata. Dan fatalnya lagi, masalah alam jinpun ternyata telah dipahami dengan pemahaman yang menyimpang, sesat dan menyesatkan. Sebabnya karena tidak didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan justru disandarkan pada sumber-sumber yang tidak benar seperti para dukun dan paranormal, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung. Maka berbagai fenomena penyimpangan pun merebak di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat dari pemahaman dan persepsi yang salah dan menyimpang tentang alam jin dan alam ghaib. Fenomena-fenomena tersebut terkait dengan persepsi-persepsi dan keyakinan-keyakinan menyimpang dan bahkan “jungkir balik” yang hampir baku di masyarakat seputar sebutan-sebutan dan istilah-istilah tertentu seperti misalnya: wali, ”orang pintar”, ”orang ngerti”, ”orang tua”, ilmu karamah, ilmu kasyaf, ilmu ladunni, ilham, wangsit, mimpi, alam ruh, alam jin, bantuan jin, khadam jin, khadam malaikat, tenaga dalam, olah pernafasan tenaga dalam, meditasi, yoga, aura, bio-energi diri, “energi alam”, alam supranatural, tenaga supranatural, pengobatan alternatif supranatural, hipnotis, sulap, mentalis, ilusionis, isi-isian, bekal-bekalan, amalan-amalan, rajah, jimat, keris, benda bertuah, benda keramat, tempat keramat, orang keramat dan dunia mistik – misteri – klenik pada umumnya, yang memang sangat lekat dan kental di masyarakat kita. Sementara, hal-hal tersebut umumnya tidak terlepas dari campur tangan jin dalam kehidupan manusia, yang tidak dipahami dan disadari oleh banyak orang..
Karena masalah-masalah tersebut sangat terkait dengan aqidah, yang merupakan pondasi ajaran Islam, maka kita harus memberikan perhatian yang besar dan serius dalam upaya pelurusan dan perbaikan. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip dalam memahami dan menyikapi alam ghaib, yang disini dibatasi pada alam jin, sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
KEWAJIBAN BERIMAN PADA ADANYA JIN
Kita wajib beriman terhadap adanya satu jenis makhluq Allah yang disebut jin, yang hidup di alam khusus untuk mereka, yang berbeda dengan alam malaikat, alam ruh maupun alam manusia. Karena, keberadaan alam jin ini sudah merupakan ijma’ (kesepakatan) seluruh ulama sepanjang zaman. Didalam Al-Qur’an, kita mendapati banyak sekali ayat yang menegaskan hal tersebut. Bahkan terdapat satu surat yang seluruh ayat-ayatnya berbicara tentang jin, sehingga dinamai Surat Al-Jinn (Surat ke-72).
Karena alam jin termasuk alam ghaib (meskipun sifat dan tingkat keghaibannya berbeda dengan keghaiban malaikat, ruh, dan alam-alam ghaib yang lainnya) maka kita hanya bisa dan boleh mengambil informasi yang benar tentangnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah saja.
KARAKTERISTIK DAN SIFAT-SIFAT JIN
- Jin diciptakan sebelum manusia dari api, sedangkan malaikat dari cahaya dan manusia dari tanah (QS Al-Hijr [15] : 26 – 27, QS Ar-Rahman [55] : 15, HR Muslim).
- Jin makan dan minum (berdasarkan hadits-hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, dan yang lainnya).
- Jin berketurunan (QS Al-A’raf [7] : 27, QS. Al-Kahfi [18]: 50).
- Jin mengalami kematian (QS Ar-Rahman [55] : 26 – 28, HR Bukhari) kecuali Iblis (dan juga syetan-syetan asli keturunan Iblis menurut pendapat sebagian ulama) yang memang telah diberi masa tangguh untuk hidup sampai Hari Kiamat (QS Al-A’raf {7} : 14 – 15).
- Jin diberi kemampuan-kemampuan tertentu yang tidak diberikan kepada manusia, seperti kecepatan bergerak dan berpindah (QS An-Naml [27] : 39 – 40), terbang menembus langit untuk mencuri berita ghaib (QS Al-Jinn [72] : 8 – 9, HR Bukhari), kemampuan untuk berubah bentuk menyerupai manusia dan binatang, khususnya ular, kalajengking, dan anjing (lihat sebab turunnya QS Al-Anfal [8] : 48, juga HR Bukhari yang mengisahkan jin yang datang untuk mencuri harta zakat dan shadaqah yang ditunggui oleh Abu Hurairah, HR Muslim tentang seorang sahabat yang bertarung dengan jin yang menjelma dalam bentuk ular di rumahnya sampai keduanya terbunuh, dan riwayat-riwayat yang lainnya), kemampuan luar biasa untuk membuat bangunan-bangunan besar dan hebat, menyelam ke dasar lautan yang paling dalam, dan sebagainya (QS Saba’ [34] : 13, QS Shaad [38] : 35 – 38), masuk dan merasuki diri manusia (QS Al-Baqarah [2] : 275, QS An-Naas [114] : 4 – 6, HR Bukhari – Muslim, dan dalil-dalil yang lainnya), dan kemampuan-kemampuan yang lainnya.
JIN, IBLIS, DAN SYETAN
Firman Allah dalam QS Al-Kahfi [18] : 50 menegaskan bahwa, Iblis berasal dari golongan jin. Namun sejak pembangkangannya atas perintah Allah untuk bersujud kepada Adam ‘alaihissalam, Iblis ditetapkan oleh Allah menjadi makhluq terlaknat yang tidak akan pernah lagi beriman. Begitu pula keturunannya, yang disebut sebagai syetan (syetan asli). Sehingga dengan demikian, mereka (Iblis dan syetan-syetan asli keturunannya) seakan-akan menjadi jenis makhluq tersendiri, padahal sebenarnya semula juga berasal dari golongan jin. Nah sangat boleh jadi bahwa, syetan pendamping manusia yang disebut qarin, adalah dari jenis syetan-syetan asli keturunan Iblis ini (QS Fushshilat [41] : 25, QS Az-Zukhruf [43] : 36), dimana setiap manusia memang telah ditetapkan baginya pendamping dari golongan jin (syetan) dan pendamping dari golongan malaikat. Karena syetan qarin merupakan sebagian dari syetan asli, maka mereka pun tidak akan pernah beriman. Mungkin satu-satunya syetan yang menjadi muslim, menurut pendapat sebagian ulama, hanyalah qarin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR Muslim). Sementara itu, istilah syetan juga dipakai untuk mensifati mereka yang kafir dan jahat dari golongan jin dan manusia (QS Al-An’am [6] : 112, QS An-Naas [114] : 4 – 6) , karena keserupaannya dengan syetan (yang asli keturunan Iblis). Namun, sebutan syetan disini hanya merupakan sifat, yang tidak permanen dan akan terlepas sewaktu-waktu ketika mereka kembali beriman dan taat. Oleh karena itu, jika misalnya selama bulan Ramadhan terdapat syetan yang masuk dan merasuki seseorang hingga kesurupan – dan ini sering terjadi – padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa pada bulan itu syetan-syetan dibelenggu (HR Bukhari – Muslim), maka syetan yang masuk dan merasuki itu adalah jin-jin yang disifati dan disebut sebagai syetan, dan bukan syetan yang asli. Adapun syetan-syetan yang dibelenggu – sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – hanyalah syetan-syetan yang asli keturunan Iblis.
JIN ADALAH MAKHLUK MUKALLAF
Sebagaimana manusia, jin merupakan makhluq mukallaf (mendapat beban syariat) yang diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT (QS Adz-Dzariyat [51] : 56). Mereka diwajibkan untuk mengikuti syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau memang diutus untuk manusia dan jin sekaligus, sebagaimana ijma’ para ulama (lihat juga QS Al-Ahqaf [46] : 29 – 30 dan QS Al-Jinn [72] : 1 – 2). Adapun bagaimana cara mereka melaksanakan syariat Islam adalah sesuai dengan sifat dan kondisi mereka, yang tidak kita ketahui secara rinci.
Diantara para jin ada yang beriman dan ada yang kafir, ada yang taat dan ada yang durhaka (QS Al-Jinn [72] : 11, 14-17). Mereka juga akan di-hisab untuk mendapatkan balasan baik ataupun buruk sesuai dengan amal mereka di dunia. Yang beriman dan taat diantara mereka akan mendapatkan kenikmatan di Surga, sedangkan yang kafir dan durhaka akan menerima siksa di Neraka (QS Al-An’am [6] : 130, QS Al-A’raf [7] : 38, 179, QS As-Sajdah [32] : 13, QS Ar-Rahman [55] : 46-47).
SIFAT HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DAN JIN
- Jin dan manusia yang sama-sama merupakan makhluq mukallaf memiliki alam, kehidupan, tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri yang harus dijalani dan ditunaikan sesuai dengan sifat dan kondisi mereka masing-masing, di alam mereka masing-masing. Oleh karena itu, pada prinsip dan dasarnya, tidaklah diperbolehkan saling mencampuri antara satu dan yang lainnya. Sehingga jin yang melakukan campur tangan terhadap manusia ,pada pada prinsipnya, adalah merupakan bentuk penyimpangan, sebagaimana manusia yang melakukan campur tangan terhadap jin, pada dasarnya, adalah sebuah penyimpangan juga. Kewajiban dakwah atas manusia dan jin misalnya, hanyalah untuk dilakukan di alam mereka masing-masing dan oleh golongan mereka masing-masing. Kecuali dalam kondisi-kondisi sangat khusus dan dalam ”wilayah” yang terbatas sekali, seperti misalnya seruan dakwah yang ditujukan oleh peruqyah kepada jin yang berada dalam diri pasien kerasukan pada saat proses ruqyah sedang berlangsung.
- Manusia tidak boleh meminta pertolongan dan perlindungan kepada jin karena jin tidak akan pernah menjadikannya sebagai sesuatu yang gratis dan cuma-cuma (QS Al-An’am [6] : 128, QS Al-Jinn [72] : 6).
- Tidaklah benar jika dikatakan bahwa seorang manusia mampu menguasai dan menundukkan jin tanpa kompensasi apapun, karena kemampuan untuk itu hanya Allah berikan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam (QS Saba’ [34] : 12 – 14, QS Shaad [38] : 35 – 39). Maka, ketika seseorang merasa telah mampu menguasai dan menundukkan jin maka jin itulah yang sebenarnya telah lebih dulu menguasai orang tersebut. Hanya saja, yang bersangkutan tidak menyadarinya, karena memang pengelabuan dan tipu daya mereka amatlah halus dan menipu.
- Manusia tidak bisa melihat jin (dalam wujudnya yang asli) sedangkan jin bisa melihat manusia (QS Al-A’raf [7] : 27). Adapun tentang klaim yang sering kita dengar bahwa seseorang bisa melihat jin, maka terdapat beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, yang bersangkutan berbohong dan berdusta. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mengaku bisa melihat jin, maka kami gugurkan kesaksiannya (karena dianggap telah berdusta sehingga tidak layak dipercaya lagi) berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya) ‘Sesungguhnya ia (Iblis) dan keturunannya bisa melihat kalian sementara kalian tidak bisa melihat mereka (QS Al-A’raf [7] : 27)” (Asy-Syibli dalam Aakaamul Marjaan hal. 23-24) . Kedua, jin telah menampakkan dirinya dalam wujud tertentu yang memungkinkan untuk dilihat oleh orang tersebut. Ketiga, yang bersangkutan ketempelan tetapi tidak menyadarinya. Dalam hal ini, “kemampuan lebih” tersebut tidaklah murni kemampuan yang bersangkutan, akan tetapi atas bantuan jin, namun tidak disadari. Kasus seperti inilah yang biasanya dipahami oleh orang-orang bahwa seseorang memiliki indera keenam. Keempat, yang bersangkutan memang memiliki prewangan atau khadam dari golongan jin, baik yang bersangkutan mengakui ataupun tidak mengakui.
- Prinsip dasar sikap manusia terhadap jin adalah sikap menghindar dan berlindung kepada Allah dari mereka. Jika ada yang mengatakan, ”Mengapa sikap dasar kita menghindar dan berlindung? Bukankah diantara mereka ada yang beriman dan taat?” Jawabannya : Pertama, kemampuan kita untuk menjangkau mereka sangatlah terbatas, sehingga kita tidak bisa membedakan antara yang taat dan yang durhaka diantara mereka. Kedua, kita tidak bisa dan tidak boleh percaya begitu saja kepada pengakuan mereka, bahwa mereka beriman dan taat misalnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa, mereka adalah makhluq pendusta (HR Bukhari yang mengisahkan jin yang datang untuk mencuri harta zakat dan shadaqah yang ditunggui oleh Abu Hurairah). Ketiga, alam jin yang diperkenalkan kepada kita oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits lebih didominasi oleh pensifatan mereka sebagai syetan, yang tentu harus membuat kita bersikap waspada. Keempat, dalam realitas sejarah, jin-jin yang tampil dan hadir dalam kehidupan manusia kebanyakannya adalah jin-jin yang kafir dan durhaka, yang datang untuk hal-hal yang negatif dan merugikan, namun seringkali tidak disadari oleh manusia. Hal ini dikuatkan oleh penegasan Al-Qur’an ( QS Al-Ahqaf [46] : 29 – 32) bahwa, jin-jin yang shaleh yang mungkin sewaktu-waktu hadir dengan sendirinya dalam majlis-majlis ilmu, dzikir dan tilawah yang diadakan oleh manusia mukmin, begitu usai akan segera kembali kepada kaumnya untuk menyampaikan yang telah mereka dapatkan, dan tidak malah tetap tinggal bersama manusia tersebut.
“Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan syetan-syetan, dan aku berlindung kepada-Mu, ya Rabbi, dari kedatangan mereka kepadaku”. (QS Al-Mukminun [23] : 97 – 98).